Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Thursday, May 26, 2011

Starting a New Week

"Mbak Nara, ada tamu" suara Tari memecah konsentrasiku.
"Eh...siapa Tar? Kayaknya nggak ada janji sama siapa-siapa deh gue hari ini." ujarku.
"Ibu Alena Mbak, gue suruh dia tunggu di meeting room tadi."
"Oh, suruh langsung ke sini aja deh. Thanks ya Tar."

Tak lama...

"Sibuk Bu?" Alena sudah berdiri di tengah ruanganku.
"Hai! Lumayan nih... Apa kabar?" aku langsung berdiri dan menjabat tangannya, "Silakan duduk Bu Alena, mau minum apa?" sambungku kemudian seraya membimbingnya untuk duduk.
"Baik, apa aja deh." jawabnya.
"Sebentar ya..." kubuka lemari es kecil di sudut ruanganku, kuangsurkan sebotol evian dan sebuah gelas padanya.
"Maaf banget ya Bu Alen for the delay, ada sedikit masalah di factory dan efeknya furniture jadi belum bisa masuk hari ini."
Alena tersenyum seraya menuang Evian pada gelas, "Maklum kok Bu, saya justru kaget waktu denger dari Axel soal schedule furniture masuk hari ini. Cepet banget, karena sejujurnya target kita paling cepat ya masih dua mingguan lagi."
"Kalau bisa lebih cepat kan malah bagus ya kan?" timpalku kemudian.
Alena mengangguk, "Ok jadi sekitar dua minggu lagi cukup waktunya untuk membereskan semuanya? Karena saya harus buat invitation untuk pembukaan resminya."
"Oh cukup, sebelum dua minggu justru saya usahakan sudah selesai semua." tegasku.
Mata Alena memperhatikan sekeliling ruanganku, "Ruangan kamu nyaman banget deh Ra. Eh... is it ok kalau aku panggil nama tanpa embel-embel ibu? Kayaknya umur kita nggak berbeda jauh."
Aku tertawa kecil mendengar ucapan Alena, "It's ok kok Len, gue sebenernya juga nggak begitu nyaman ber-saya kamu, ibu-bapak sama klien yang umurnya masih nggak beda-beda jauh sama gue"
"Ahh syukurlah... Panggil gue Lena aja Ra." wajah Alena menampakkan kelegaan.
"By the way, kok tumben lo yang kesini? Biasanya kan bos bule." tanyaku tanpa bermaksud ingin tahu.
Alena tertawa lepas mendengar pertanyaanku, "Jadi lo kasih julukan bos bule ke Axel? Hahahaha... Iya nih, mendadak ke Makau dia waktu Sabtu, katanya sih sudah di Jakarta sekarang. Tapi mungkin Axel masih sedikit lelah, jadi dia mendelegasikan tugas ini ke gue."

Seketika senyumku hilang mendengar jawaban Alena. Makau? Jangan-jangan Axel menemui Justin. Nggak....nggak... itu nggak mungkin. Sebegitu penasarannya Axel dengan keberadaan Zilli, sampai rela jauh-jauh terbang ke Makau. Nggak mungkin.... Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk mengenyahkan pikiran konyol itu.

"Dalam rangka apa Len? Ada meeting di sana?" kali ini aku benar-benar penasaran dengan kepergian Axel.
Alena hanya mengedikkan bahunya, "Entahlah, dia tiba-tiba telepon tadi. Cuma minta cek ke lo aja kira2 butuh waktu berapa lama untuk beresin semuanya. Waktu gue tanya ngapain di Makau, dia cuma bilang ada sedikit urusan keluarga yang mau dibahas sama sepupunya."

"Great! Bagus banget Ra! Itu semua kan gara-gara mulut lo pakai inisiatif meluruskan kecurigaannya tentang Justin Sabtu kemarin." dalam hati aku mengumpat. Kuhela nafas pelan-pelan.

"Mommy!" langkah kecil tergesa-gesa terdengar mengikuti panggilannya. Dan si pemilik suara sudah masuk begitu saja ke ruanganku.
"Hi sweetheart..." Zilli langsung menghambur memelukku dan menciumku.
"Say hi to mommy's friend, she is Aunty Lena." aku memperkenalkan Zilli pada Alena.
"Hello aunty, i'm Zilli. Nice to meet you." ucapnya ramah.
"Hi Zilli, nice to meet you too." jawab Alena.
Tampak Alena agak terkejut melihat kedatangan Zilli.
"Zilli, can you go to upstairs please? I have prepare lunch for you. Change your clothes, get your lunch and go rest for a while ok?" aku meminta dengan halus.
"Will you join me Mom?" matanya tampak memelas penuh harap.
"As soon as possible, I'll join you. Are you ok son?"
Zilli mengangguk cepat, "Zilli pengen ditemenin tidur sama Mommy."
Aku tersenyum dan mencium pipinya dengan sayang, "I'll be there soon honey, give me 30 minutes ya."
Senyuman lebar tersungging di wajah Zilli, "Ok" jawabnya.
"See you soon, aunty Lena." pamitnya kemudian. Alena tersenyum hangat seraya melambaikan tangan.

"Your son Ra?" tanya Lena. Aku mengangguk mantap.
"Umur berapa?" tanyanya lagi.
"Almost 6 years old." jawabku.
"Wow... belum 30 kan umur lo? Dan anak lo udah hampir 6 tahun, hebat lo Ra. Gue yang udah mau kepala 3 tahun ini aja masih belum berani untuk membuat komitmen seumur hidup dengan seseorang."

Aku hanya tersenyum. Alena ini sebenarnya sosok yang cantik. Tubuh tinggi semampai proporsional, rambut ikal yang dipotong pendek, tulang pipi tinggi khas aristokrat, hidung mancung, mata bulat dan kulitnya yang putih menjadi nilai plus untuknya. Tapi entahlah aku merasa tidak begitu nyaman dengan sikapnya. Tidak ada yang salah memang, dia baik. Hanya saja ada saat terkadang kita merasakan aura tidak nyaman dengan seseorang. Itu yang kini sedang aku rasakan.

"I'm unwed mother."

Ucapanku yang menggantung, seperti menjadi bom waktu untuk Alena. Seketika itu wajahnya pias dan tampak tidak nyaman, seperti merasa salah ucap. Dia tampak kesulitan menemukan kembali suaranya.

"Setiap orang punya pandangan dan prinsip sendiri-sendiri dan terkadang pernikahan bukan segalanya. He is my own son, with sperm from his father of course. Kalau cuma ingin punya anak, adopsi juga udah bisa Len." sambungku lagi, sumpah suasananya mendadak awkward dan aku beneran nggak nyaman.
"Sorry ya Ra, gue nggak maksud apa-apa." ujarnya kemudian saat kembali bisa menenangkan dirinya.
"It's ok, reaksi lo wajar kok." jawabku sambil tersenyum.
Kulirik jam di pergelangan tanganku, "So... ada lagi yang bisa gue bantu Len? Masih ada yang mau lo tanyakan mungkin." tanyaku.
"Eh...nggak deh Ra, gue cuma mau mastiin estimasi final project aja kok. Harus segera pamit gue juga nih, ada janji meeting."
"Baiklah, kalau ada apa-apa jangan sungkan ya Len untuk tanya langsung ke gue."
"Sip... gue pamit kalau gitu ya, salam buat Zilli. Kapan-kapan kita hangout bareng lah kalau santai."
Aku tertawa kecil, "Ok atur aja Bu, ditunggu invitation nya."
Kami pun berjabat tangan dan kuantarkan Alena ke carport.

"Tari, gue di kamar Zilli ya. Kalau ada tamu tolong panggil aja." pesanku sesaat sebelum naik ke lantai dua.
Tari hanya mengacungkan jempolnya masih sambil sibuk berbicara dengan entah siapa melalui telepon.

Sosok malaikat kecilku tampak sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Aku mendekat dan ikut berbaring di sisinya. Kubelai lembut rambutnya penuh sayang. Melihat Zilli tertidur nyenyak selalu memberikan ketenangan untukku. Tidak ada putusnya aku bersyukur akan kehadirannya. Meski banyak pihak yang seringakali memandangku dengan tatapan mencemooh tapi berkat Zilli aku bisa tetap kuat.

Suatu waktu Abi pernah bertanya padaku, tidak lelahkah aku menjalani hari sebagai unwed mother. Sejujurnya ada masanya aku merasa lelah menjalani aktivitas yang semakin hari semakin padat. Siapa yang tidak lelah jika setiap hari harus bekerja, membereskan pekerjaan rumah sekaligus mendidik anak, oh ya aku nggak pernah pakai jasa asisten rumah tangga ataupun baby sitter. Kecuali waktu aku melanjutkan pendidikan di New York, dengan sangat terpaksa aku harus meninggalkan Zilli di bawah pengasuhan Ibu selama 3 tahun, padahal dia baru berumur 6 bulan saat itu. Tapi itulah kehadiran Zilli seperti menjadi pemuas dahaga di tengah lelahku, hanya melihatnya tersenyum, ada aliran energi baru yang membuatku kembali semangat.

Kuhembuskan nafas perlahan, "Heuhh... mommy love you Zilli." ucapku pelan sambil masih mengelus lembut kepalanya.
"I love you both too..." sebuah suara membuatku terduduk kaget.