Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Wednesday, October 26, 2011

The Calm after the Storm

Sejujurnya aku kaget melihat dua cecunguk yang dengan lancangnya berdiri di depan pintu kamar dengan kondisi yang sama-sama babak belur. Rasa ibaku berganti menjadi risih dan terganggu, apa-apaan sih mereka ini. Dengan mimik dingin aku beranjak menuju ruanganku diikuti dengan langkah gontai mereka.

“What the hell happened with you two?” sebisa mungkin aku menahan emosiku.

Makin sebal melihat ekspresi keduanya yang cuma senyum-senyum sambil pandang-pandangan.

“Oh mendadak bisu tuli yah abis tonjok-tonjokkan?” aku beranjak ke lemari sudut mengambil kotak P3K. Duduk di hadapan keduanya, dan mulai menyobek bungkus plester yang ku pegang. Kuganti plester pada luka di pelipis Abi.

“Ishh…duhh..pelan-pelan dong Ra.” Abi mengaduh, aku hanya tersenyum sinis melihatnya.

“Sini muka lo Xel, bibir sampe sobek gitu.” Kali ini kuganti plester di sudut bibir Axel. Persis seperti Abi, Axel pun mengaduh dengan ekspresi yang sama.

“Waktu tonjok-tonjokkan ngga sakit kan?! Nggak usah ngeluh deh Cuma diganti plester aja.” sungutku.

“Hhhh… so… ada yang mau kasih tau gue ada apa ini sebenernya? Datang berduaduaan dengan muka babak belur, dan lo..” tunjukku ke wajah Abi “..bisa-bisanya langsung nyahut ‘I love the both of you’. Apa maksudnya?” sambungku lagi.

Keduanya kini berpandang-pandangan lagi dalam diam.

“Hello!! Comment please… gue bukan lagi latihan monolog yaahhh!”

“Mmm…sedikit practice aja Ra, udah lama kita nggak Muaythai bareng.” jawab Axel.

“Ok…then Bi, any comment?”

“Truly I love you Ra…” hanya itu yang terucap dari mulut Abi.

“Hah?” aku terkejut kemudian “Hahahahahahaha!!” aku tertawa lepas.

“Come on Bi, aku tahu masih jauh ke April Mop. Nggak usah bercanda deh, atau kamu lagi latihan buat nyatain ke cewe inceran kamu ya?” selidikku.

“Ra… please… aku serius. Jauh sejak kamu masih SMA dulu aku udah jatuh cinta setengah mati sama kamu. Sampai kemudian aku kuliah ke luar pun yang aku jadikan motivasi itu kamu, pengen cepet beres jadi bisa segera back for good dan kumpul lagi sama kamu.” tatapan Abi menyiratkan keseriusannya. Aku hanya terdiam, bisu.

“Ra…kehadiran Zilli pun ngga merubah perasaan aku ke kamu. Justru kehadirannya bikin aku makin sayang dan respek sama kamu.”

Aku menatap tajam padanya, kuhela nafas yang mulai menyesakkan.

“Gue simpulkan kalian berdua sudah tahu mengenai fakta yang sesungguhnya. Thank you banget karena nggak satu pun dari kalian yang mencoba untuk menghakimi sikap gue di masa lalu. Gue yakin pasti banyak ‘kenapa’ yang bermunculan di kepala kalian sekarang ini. Tapi please…jangan paksa gue buat menjelaskan kenapa gue berbuat hal itu dulu. Gue si logis yang sangat ter-planning harus terjembab di lubang yang nggak pernah diduga. Kalian pasti pernah kan suatu ketika harus menyetir di jalanan yang gelap, mengendalikan kecepatan mobil dengan hati-hati, berharap nggak ada jurang di ujung jalannya. Itu yang terjadi sama gue, tapi harapan gue sia-sia, karena toh gw masuk ke jurang gelap itu. Syukurnya… Tuhan masih baik sama gue karena entah darimana muncul tali yang membantu gue untuk keluar dari jurang itu. Dan gue nggak menyesali kejadian itu, gue bersyukur karena hal itu membuat gue menjadi diri gue sekarang.”

“Ra…I’m sorry…” ucap Axel tulus.

Untuk pertama kalinya ada sejuk yang tak terdefinisikan yang menyusup ke sanubariku ketika mendengar permintaan maafnya. Aku tersenyum dan menyentuh tangannya. “Yang udah ya udah Xel. Gue merasa sangat bahagia dan beruntung dengan Zilli.”

“Ra…pernyataan Abi tulus lho, kok ga kamu respon sih?” Tanya Axel kemudian.

Aku tersenyum kecil menatap Abi, “ Bi…aku tahu kok kalau selama ini kamu naksir berat sama aku. Orang buta aja pasti akan sadar kalau dikasih perhatian yang sebegitu besarnya sama kamu. Aku emang selalu pasang sikap pura-pura nggak tahu, bukan apa-apa, itu karena aku sangat menghargai dan menyayangi kamu…. Sebagai kakak laki-laki aku.” Kusentuh pelan tangannya, “You deserve better Bi, and the woman is not me.”

Abi tersenyum penuh kelegaan yang dari tatapannya aku tahu dia patah hati mendengar penolakanku. Tapi kelegaan yang muncul di bibirnya membuatku merasa ringan, beban yang selama ini aku panggul berkurang sedikit.

“Paling nggak aku berusaha Ra, merubah status sepupu kita itu berubah jadi kekasih. Hahahaha.”

“Norak ihhh, segala kekasih gitu. Nanti aku kenalin lagi deh sama temen perempuan aku yang lain, biar cepet sembuh patah hatinya.” Aku ikut tertawa dengannya.

“Sepupu?!” Axel terkejut mendengar fakta yang baru didengarnya. Aku mengangguk seraya merangkul Abi.

“My best cousin Xel.” Abi mengacak rambutku.

“Kok bisa?”

“Ya bisa lah, nyokapnya Nara tuh adik nyokap gue. Begitu aja heran.”

“Ya jelas dong, bisa-bisanya lo jatuh cinta sama sepupu lo sendiri.” Axel membela diri.

“Axel, gini yaa…semua orang juga bisa lihat betapa cantiknya gue, jadi nggak usah heran kalau sepupu gue sendiri naksir sama gue.” kupasang wajah penuh kesombongan.

“Males!!! Narsis abiss!! Hahaha..” Abi melempar bantal padaku.

“So…. Aku bisa daftar dong Ra kalau Abi kamu tolak.” Sambar Axel.

“Daftar jadi pacarnya Abi? Boleh banget Xel, mudah-mudahan kamu diterima. Hahahaha” ledekku.

“Eh reseee! Nggak usah pura-pura bodoh gitu deh Ra, nggak pantes perempuan pintar kayak kamu pake gaya ngeles murahan begitu.” sungut Axel.

Aku dan Abi sikut-sikutan sambil melirik ke Axel, “Umur sih udah kepala 3 dibecandain begitu aja pundung, hahahahaha.” ledekku lagi.

“Elo ya Xel, dari dulu nggak berubah deh ihh, ngak bisa dibecandain. Idup tuh udah susah Xel, apalagi sekarang lo udah jadi Bapak, nggak usah serius-serius lahh, makin pusing ntar lo.” Lagi Abi menyambut ledekanku.

“Apa hubungannya nyet, justru kalau udah jadi orang tua tuh harus serius, udah nggak pantes begobegoan.” Axel berkilah.

“Alahhh lo sih dari dulu emang udah sok tua! Hahahaha..” Abi lagi-lagi meledeknya.

Hei…aku suka suasana begini, menyenangkan. Kelegaan ketika kabut akhirnya menghilang, membuka suasana baru yang lebih cerah. Perasaan entah benci, sebal, marah, unsecure setiap kali nama Axel terucap hilang entah kemana, hanya dengan ucapan maaf yang tulus. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Siddharta Buddha “Holding on to anger is like grasping a hot coal with the intent of throwing it at someone else. However you are the one who gets burned.” Kini aku bisa tersenyum dan sedikit bernafas dengan santai.

Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka, “Mommy..”

Wednesday, June 29, 2011

The Day After

AXEL’S APARTMENT

Aku terbangun mendengar denting gelas di dapur. Itu pasti Abi yang sudah terbangun lebih dahulu. Kucoba menggerakkan badanku namun seluruh bagiannya terasa sekaku kayu kering di padang gurun. Peristiwa kemarin malam bukan hal yang bisa dilakukan sambil lalu. Dan hal ini harus tetap dihadapi. Abi tak bisa kubiarkan terlalu lama menebak-nebak apa yang terjadi. Kenyataannya sudah cukup absurd tanpa dia menebak kiri dan kanan. Kupaksakan badanku untuk bergerak. Otot yang menjerit tak kugubris, lebam yang berdenyut tak kuhiraukan. Aku harus membeberkan semuanya pada sahabatku itu.

Tampaknya aku harus meminta Alena untuk menggantikanku hari ini. Toh dengan keadaan sekarang, untuk apa aku memaksakan alasan kerja untuk bertemu dengan Nara?

“Alena di sini. Bisa saya bantu?” Dia mengangkat setelah dering ketiga.

“Sibuk sekali ya Len? Ampe ga sempet liat siapa yang nelpon?”

“Oh, Axel? Ga sibuk sih. Ini lagi nyetir.”

“Hari ini schedule lo penuh ga?”

“Paling nanti sore ada janji sama orang-orang yang direkrut. Kenapa emangnya Xel?” nada suaranya agak berubah.

“Sorry banget, gue mestinya jam 11 sebelum lunch ketemu sama Nara buat urusan interior kantor. Gue baru pulang dari Macau. Asli cape banget. Bisa tolong gantiin gue ga?”

“Oh, iya. Gapapa ko Xel. Dari Macau?”

“Iya, ada urusan mendadak Sabtu malem gue mesti ke situ. Belum kebayar tidurnya.”

Oh, oke deh. Nanti ketemu lo di kantor?”

“Masih ga tau, tergantung urusan gue ini beres ato ga. Details soal itu gue emailin sekarang juga ya. Thanks, Len.”

“Don’t mention it,” balasnya seraya menutup telepon.

Aku pun bergerak menuju dapur. Semerbak wangi kopi menyeruak ke dalam hidungku, sebelum aku sempat berkata, Abi melihatku dan berkata, “Duduk Xel. Gue masih ga percaya sama cerita lo kemaren.”

Aku pun duduk di depannya, di mana ada secangkir cappuccino yang masih mengepulkan asap. Kuseruput emas hitam itu, “Thanks for the coffe.”

“Sekalian aja gue buatnya. Jadi bener yang tadi malem lo bilang ke gue?” tanyanya sekali lagi.

“Iya. Gue juga bingung. Ga abis pikir. Ko bisa-bisanya Nara bertindak begitu?”

Abi menatapku dan kembali mengamati cangkirnya, “Gue juga ga ngerti. Nara itu logical. Dia bukan tipe orang yang impulsif begitu. Gue perlu tau sesuatu.” Nada bicaranya membuatku bergerak tak nyaman di tempat dudukku, “Hubungan lo kaya apa sih sama si Nara?”

Ga ada cara lain, aku harus membeberkan semua masa laluku dengan Nara pada Abi. “Truth be told. Gue dulu pacaran sama Nara.” Abi tak berkata apa-apa. Satu reaksinya hanyalah matanya yang kini menatapku heran. “Back before I was even in the States.”

Keheningan kembali menyeruak ke dalam dapur yang baru saja dimasuki cahaya mentari pagi ini. Kami berdua tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Terhanyut dalam berbagai macam skenario what-ifs dengan berbagai macam situasi yang mungkin kami alami.

“Ceritanya absurd, Xel,” sahut Abi lagi memecah kesunyian yang panjang.

“Lo kira gue udah percaya? Gue jujur belom pernah liat Nara mabok. Gue ga nyangka dia segitu impulsive kalo lagi drunk.”

Kesunyian itu kembali menyeruak. Setelah mulai pusing memikirkan puncak keanehan dalam hidup Nara, aku pun mulai terdistraksi oleh denyutan lebam dan memar serta teriakan sendi-sendiku. “Yang pasti sih kemaren itu abis-abisan lo all out sama gue. Kampret.”

“Pertanyaannya sekarang kita ngapain dari sekarang.”

“Itu mestinya pertanyaan gue. Lo mau apa setelah tau Zilli itu anak lo?” sambar Abi.

“Jujur, gue ga tau mesti apa,” sahutku dengan dahi berkerut. “It’s not like I’m really finished with Nara. Tapi keliatannya lo juga masih tetep ngarepin Nara kan?”

“Well, kalo ga gitu, masa gue sampe niat kaya kemaren malem. Dan waktu itu di Bogor pun gue udah cerita kan ke lo?” sahutnya dengan nada datar.

“Yang pasti, gue ga mau lo mundur karena gue. Gue ga ada sebulan di Jakarta. Lo udah terus nemenin Nara sekian lama ini. Let this be Nara’s decision.”

“You’re Zilli’s father. It’s your right,” Abi menatapku dengan mata dingin penuh perhitungannya.

“Hak gue? All I did was selling my sperm for booze money. Dari kedeketan lo sama Zilli, you’re more his father than I am. Gue ga pungkiri gue sayang Nara tapi gue masih berhutang satu penjelasan soal kenapa dulu gue pergi.”

“You have a point there,” tatapan mata Abi akhirnya melunak.

“Daripada debat ga jelas begini, mendingan kita langsung ke tempat Nara dan jelasin semuanya. Dengan situasi seperti ini, lo juga harus ikut.”

NARA’S OFFICE

Kami memutuskan untuk menggunakan mobil masing-masing. Rupanya Abi memang sudah sangat dekat dengan Nara. Bahkan security kantor Nara pun sudah tidak asing dengannya. Itu memudahkan kami untuk langsung naik ke tempat Nara.

Saat memasuki kantor Nara, kami langsung menuju lantai atas. Aku melihat Zilli yang sedang tertidur dan Nara di sampingnya. Dia menatap anak kami dengan padangan penuh kasih dan kemudian menghela napasnya, "Heuhh... mommy love you Zilli."

"I love the both of you..." sambar Abi. Nara terperangah dan membalikkan badannya. Saat Nara melihat kami, keheranannya pun bertambah. Mungkin dia bertanya-tanya kenapa kami berdua memiliki pelipis yang ditambal plester, bibir yang tampak sobek, dan bengkak di sana sini.

Aku pun menambahkan, “He’s telling the truth. He does love the both of you.”

“Let’s talk downstairs,” Nara membimbing kami ke kantornya kembali.

Setelah kami semua di ruang kerja Nara, Nara pun menutup pintu dan berseru, “What the hell happened with you two?”

Thursday, May 26, 2011

Starting a New Week

"Mbak Nara, ada tamu" suara Tari memecah konsentrasiku.
"Eh...siapa Tar? Kayaknya nggak ada janji sama siapa-siapa deh gue hari ini." ujarku.
"Ibu Alena Mbak, gue suruh dia tunggu di meeting room tadi."
"Oh, suruh langsung ke sini aja deh. Thanks ya Tar."

Tak lama...

"Sibuk Bu?" Alena sudah berdiri di tengah ruanganku.
"Hai! Lumayan nih... Apa kabar?" aku langsung berdiri dan menjabat tangannya, "Silakan duduk Bu Alena, mau minum apa?" sambungku kemudian seraya membimbingnya untuk duduk.
"Baik, apa aja deh." jawabnya.
"Sebentar ya..." kubuka lemari es kecil di sudut ruanganku, kuangsurkan sebotol evian dan sebuah gelas padanya.
"Maaf banget ya Bu Alen for the delay, ada sedikit masalah di factory dan efeknya furniture jadi belum bisa masuk hari ini."
Alena tersenyum seraya menuang Evian pada gelas, "Maklum kok Bu, saya justru kaget waktu denger dari Axel soal schedule furniture masuk hari ini. Cepet banget, karena sejujurnya target kita paling cepat ya masih dua mingguan lagi."
"Kalau bisa lebih cepat kan malah bagus ya kan?" timpalku kemudian.
Alena mengangguk, "Ok jadi sekitar dua minggu lagi cukup waktunya untuk membereskan semuanya? Karena saya harus buat invitation untuk pembukaan resminya."
"Oh cukup, sebelum dua minggu justru saya usahakan sudah selesai semua." tegasku.
Mata Alena memperhatikan sekeliling ruanganku, "Ruangan kamu nyaman banget deh Ra. Eh... is it ok kalau aku panggil nama tanpa embel-embel ibu? Kayaknya umur kita nggak berbeda jauh."
Aku tertawa kecil mendengar ucapan Alena, "It's ok kok Len, gue sebenernya juga nggak begitu nyaman ber-saya kamu, ibu-bapak sama klien yang umurnya masih nggak beda-beda jauh sama gue"
"Ahh syukurlah... Panggil gue Lena aja Ra." wajah Alena menampakkan kelegaan.
"By the way, kok tumben lo yang kesini? Biasanya kan bos bule." tanyaku tanpa bermaksud ingin tahu.
Alena tertawa lepas mendengar pertanyaanku, "Jadi lo kasih julukan bos bule ke Axel? Hahahaha... Iya nih, mendadak ke Makau dia waktu Sabtu, katanya sih sudah di Jakarta sekarang. Tapi mungkin Axel masih sedikit lelah, jadi dia mendelegasikan tugas ini ke gue."

Seketika senyumku hilang mendengar jawaban Alena. Makau? Jangan-jangan Axel menemui Justin. Nggak....nggak... itu nggak mungkin. Sebegitu penasarannya Axel dengan keberadaan Zilli, sampai rela jauh-jauh terbang ke Makau. Nggak mungkin.... Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk mengenyahkan pikiran konyol itu.

"Dalam rangka apa Len? Ada meeting di sana?" kali ini aku benar-benar penasaran dengan kepergian Axel.
Alena hanya mengedikkan bahunya, "Entahlah, dia tiba-tiba telepon tadi. Cuma minta cek ke lo aja kira2 butuh waktu berapa lama untuk beresin semuanya. Waktu gue tanya ngapain di Makau, dia cuma bilang ada sedikit urusan keluarga yang mau dibahas sama sepupunya."

"Great! Bagus banget Ra! Itu semua kan gara-gara mulut lo pakai inisiatif meluruskan kecurigaannya tentang Justin Sabtu kemarin." dalam hati aku mengumpat. Kuhela nafas pelan-pelan.

"Mommy!" langkah kecil tergesa-gesa terdengar mengikuti panggilannya. Dan si pemilik suara sudah masuk begitu saja ke ruanganku.
"Hi sweetheart..." Zilli langsung menghambur memelukku dan menciumku.
"Say hi to mommy's friend, she is Aunty Lena." aku memperkenalkan Zilli pada Alena.
"Hello aunty, i'm Zilli. Nice to meet you." ucapnya ramah.
"Hi Zilli, nice to meet you too." jawab Alena.
Tampak Alena agak terkejut melihat kedatangan Zilli.
"Zilli, can you go to upstairs please? I have prepare lunch for you. Change your clothes, get your lunch and go rest for a while ok?" aku meminta dengan halus.
"Will you join me Mom?" matanya tampak memelas penuh harap.
"As soon as possible, I'll join you. Are you ok son?"
Zilli mengangguk cepat, "Zilli pengen ditemenin tidur sama Mommy."
Aku tersenyum dan mencium pipinya dengan sayang, "I'll be there soon honey, give me 30 minutes ya."
Senyuman lebar tersungging di wajah Zilli, "Ok" jawabnya.
"See you soon, aunty Lena." pamitnya kemudian. Alena tersenyum hangat seraya melambaikan tangan.

"Your son Ra?" tanya Lena. Aku mengangguk mantap.
"Umur berapa?" tanyanya lagi.
"Almost 6 years old." jawabku.
"Wow... belum 30 kan umur lo? Dan anak lo udah hampir 6 tahun, hebat lo Ra. Gue yang udah mau kepala 3 tahun ini aja masih belum berani untuk membuat komitmen seumur hidup dengan seseorang."

Aku hanya tersenyum. Alena ini sebenarnya sosok yang cantik. Tubuh tinggi semampai proporsional, rambut ikal yang dipotong pendek, tulang pipi tinggi khas aristokrat, hidung mancung, mata bulat dan kulitnya yang putih menjadi nilai plus untuknya. Tapi entahlah aku merasa tidak begitu nyaman dengan sikapnya. Tidak ada yang salah memang, dia baik. Hanya saja ada saat terkadang kita merasakan aura tidak nyaman dengan seseorang. Itu yang kini sedang aku rasakan.

"I'm unwed mother."

Ucapanku yang menggantung, seperti menjadi bom waktu untuk Alena. Seketika itu wajahnya pias dan tampak tidak nyaman, seperti merasa salah ucap. Dia tampak kesulitan menemukan kembali suaranya.

"Setiap orang punya pandangan dan prinsip sendiri-sendiri dan terkadang pernikahan bukan segalanya. He is my own son, with sperm from his father of course. Kalau cuma ingin punya anak, adopsi juga udah bisa Len." sambungku lagi, sumpah suasananya mendadak awkward dan aku beneran nggak nyaman.
"Sorry ya Ra, gue nggak maksud apa-apa." ujarnya kemudian saat kembali bisa menenangkan dirinya.
"It's ok, reaksi lo wajar kok." jawabku sambil tersenyum.
Kulirik jam di pergelangan tanganku, "So... ada lagi yang bisa gue bantu Len? Masih ada yang mau lo tanyakan mungkin." tanyaku.
"Eh...nggak deh Ra, gue cuma mau mastiin estimasi final project aja kok. Harus segera pamit gue juga nih, ada janji meeting."
"Baiklah, kalau ada apa-apa jangan sungkan ya Len untuk tanya langsung ke gue."
"Sip... gue pamit kalau gitu ya, salam buat Zilli. Kapan-kapan kita hangout bareng lah kalau santai."
Aku tertawa kecil, "Ok atur aja Bu, ditunggu invitation nya."
Kami pun berjabat tangan dan kuantarkan Alena ke carport.

"Tari, gue di kamar Zilli ya. Kalau ada tamu tolong panggil aja." pesanku sesaat sebelum naik ke lantai dua.
Tari hanya mengacungkan jempolnya masih sambil sibuk berbicara dengan entah siapa melalui telepon.

Sosok malaikat kecilku tampak sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Aku mendekat dan ikut berbaring di sisinya. Kubelai lembut rambutnya penuh sayang. Melihat Zilli tertidur nyenyak selalu memberikan ketenangan untukku. Tidak ada putusnya aku bersyukur akan kehadirannya. Meski banyak pihak yang seringakali memandangku dengan tatapan mencemooh tapi berkat Zilli aku bisa tetap kuat.

Suatu waktu Abi pernah bertanya padaku, tidak lelahkah aku menjalani hari sebagai unwed mother. Sejujurnya ada masanya aku merasa lelah menjalani aktivitas yang semakin hari semakin padat. Siapa yang tidak lelah jika setiap hari harus bekerja, membereskan pekerjaan rumah sekaligus mendidik anak, oh ya aku nggak pernah pakai jasa asisten rumah tangga ataupun baby sitter. Kecuali waktu aku melanjutkan pendidikan di New York, dengan sangat terpaksa aku harus meninggalkan Zilli di bawah pengasuhan Ibu selama 3 tahun, padahal dia baru berumur 6 bulan saat itu. Tapi itulah kehadiran Zilli seperti menjadi pemuas dahaga di tengah lelahku, hanya melihatnya tersenyum, ada aliran energi baru yang membuatku kembali semangat.

Kuhembuskan nafas perlahan, "Heuhh... mommy love you Zilli." ucapku pelan sambil masih mengelus lembut kepalanya.
"I love you both too..." sebuah suara membuatku terduduk kaget.

Wednesday, April 20, 2011

The First Reaction

Terakhir aku bertemu dengan tinju sahabatku itu adalah sewaktu kami sparring Muaythai di kampus sekitar 3 tahun lalu. Aku tidak perlu jelaskan betapa kerasnya pukulan tersebut. Dengan Muaythai sebagai pondasi, pukulannya cukup mampu untuk mengirimkan orang ke rumah sakit terdekat.

Untunglah sepersekian detik sebelum pukulan itu mendarat ke ulu hatiku, aku menyadari tarikan napas Abi dan perubahan raut wajahnya yang memberitahuku bahwa aku akan mendapatkan rasa sakit yang cukup dahsyat.
"Uhuk," aku terbatuk saat menerima pukulan Abi. Tentunya reaksi tubuh selanjutnya adalah normal mengingat persiapanku menerima pukulan tersebut hanyalah menahan napas dan mengeraskan otot perut. Dunia langsung mematikan lampu di tengah hari bolong.

Saat aku tersadar, Abi tak terlihat di sekitarku. Aku terbangun di ruang kesehatan bandara. Perawat yang sedang berada di situ pun menyapaku, "Bapak Axel?"
"Iya, Mbak. Betul saya Axel,"
jawabku.
"Syukurlah Anda sudah siuman. Orang yang tadi memukul Anda tampak terlatih sekali langsung mengincar ulu hati. Ajaib juga Anda tidak mengalami luka dalam."
"Oh, yah... mungkin saya memang beruntung, Mbak."
sahutku singkat. Aku tidak mau membeberkan lebih banyak detail pribadi kalau memang tidak ada luka serius. Aku langsung menegakkan badanku, yang rupanya adalah suatu kesalahan.
"Pak Axel, sebaiknya jangan memaksakan diri," sahut si perawat.
"Tak apa-apa, Mbak. Mungkin karena capek saja. Saya bisa langsung pulang kan?" tanyaku padanya.
"Tadi dokter jaga memang berkata bapak boleh langsung pulang. Saya heran bapak terpukul begitu keras tapi tak mengalami luka serius," cerocos si perawat lagi.
"Anggap saja hari ini hari keberuntungan saya,"
sahutku seadanya sembari melangkah pergi ke mobilku yang terparkir di areal parkir menginap.

Tiga jam setelah itu, aku menunggu Abi di gym apartemenku. Aku kali ini siap. Jika Abi masih mengamuk, aku siap menghadapinya. Jika dia ingin mendengarkan penjelasanku, aku pun sudah siap membeberkan fakta yang baru saja kuketahui kemarin.

"Berabe deh nih." adalah isi pikiranku saat aku melihat Abi datang mengenakan celana pendek dan taping di kedua tangan dan tulang keringnya. Abi melihatku dengan mata penuh amarah.
"Bi..." Dia tak hiraukan sapaanku. Badanku pun langsung menegang. Tadi sementara menunggunya aku sempat berlari di treadmill, aku hanya bisa berharap pemanasan itu cukup untuk menghadapi Abi. Aku menyesali kenyataan bahwa kesiapanku lebih ke arah mental daripada fisik.
"Abi..." Aku mencoba kembali, "Listen me out, will you?"
"I'll listen," akhirnya dia menyahut. "After I beat your despicable ass up!" teriaknya sambil berlari ke arahku. Aku langsung menaikkan tanganku sebagai guard dan memastikan kakiku tak terpatri ke lantai karena ketegangan.

Serangan pertamanya menunjukkan dia tak berkarat. Orang-orang kebanyakan akan masuk dengan flying kick, yang akan bisa ku-sidestep dengan mudah dan kemudian kuberikan serangan apa saja yang terlintas dalam pikiran. Serangan pertamanya adalah sebuah front kick kiri yang terus terang menghambatku untuk memberikan respons apapun selain sidestep ke kanan. Kepalan tangan kanannya langsung menyambutku saat kaki kirinya menjejak tanah. Terpaksa aku mengorbankan tangan kiriku dan melepaskan pukulan kananku ke dagunya.

Setelah tiga serangan awal itu, semua hal yang kami lakukan setelah itu seperti bercampur baur. Aku memberinya beberapa bilur dan memar, dia memberiku hal yang sama. Aku berhasil menggores pelipis kanannya, dia robek pelipis kiriku dengan sikutnya. Setelah 15 menit perkelahian berlangsung, akhirnya kami pun mulai berkata-kata.

"Why did you do it?" tanyanya dengan bibir penuh darah, "Kenapa lo sampai tega menodai Nara, Xel?"
"Apa lo percaya kalo gue bilang gue ga ngapa-apain Nara?"
"Jangan anggap gue idiot, Xel! Zilli sudah mau 6 tahun."
"Tenang dulu dan dengar gue, Bi. Gue aja ga percaya waktu denger pertama kali."

Setelah ceritaku selesai, Abi dan diriku membersihkan diri di bathroom gym. Again, thank God for the hot water. Aku suruh Abi untuk menginap di sini malam ini. Baru pernah kulihat Abi seperti ini. Kalut, marah, eksplosif, dan akhirnya... submisif di hari yang sama. Mungkin dia kaget mendengar kegilaan Nara, aku pun masih merasa kaget. Mungkin kami sekarang mengalami syok yang tertunda. Komunikasi kami setelah pembicaraan itu hanyalah sebatas temu pandang, anggukan dan sesekali, senyuman getir. Senyuman getir Abi karena perasaan bingung, sakit terkhianati dan overwhelmed. Senyuman getirku karena kenyataan bahwa pilihanku 6 tahun terdahulu adalah bukan yang terbaik bagi Nara.

"Talk to you in the morning," kataku pada Abi sebelum kumenutup mata. Oh Tuhan, hari ini melelahkan sekali.

Friday, April 15, 2011

And the emotion take a part

"Ra...Nara..." guncangan pelan di bahuku membangunkanku. Wajah Abi yang pertama tertangkap oleh mataku, "Udah sampai, Zillian udah aku gendong tadi ke kamarnya. Kamu mau terusin tidur di mobil? Mau aku temenin?" seringai jahil muncul di bibirnya.

Aku pun langsung bangun dan keluar mobil, "Sorry Bi, kamu jadi repot anter aku sama Zilli begini." dengan tulus aku meminta maaf.

"Kayak sama siapa aja deh kamu Ra, pakai sungkan begitu. Santai aja deh. Eh..besok ajak Zilli berenang yuk, ke PI aja gimana?" Abi mensejajarkan langkahnya denganku.

"Jangan deh, Senin dia udah masuk sekolah. Kecapekan nanti, kasihan." tolakku.

Abi duduk di ruang tengah, memperhatikanku membuat secangkir teh. Tak lama kusodorkan teh manis hangat padanya, sementara kutinggalkan untuk berganti pakaian yang lebih nyaman. Saat kukembali tampak dia sedang asik berkutat dengan netbook milikku.

"Ra, bakal kebangun tengah malam nih kayaknya Zilli. Pules banget tidurnya barusan aku lihat." tukas Abi tanpa menoleh.

"Hu uh... biar aja, udah kenyang toh dia. Nanti kalau terbangun, paling cuma minta susu aja, terus tidur lagi. Kecapekan banget sih dia kelihatannya. Keasikan main sama kamu tadi."

"Sama Axel juga Ra." sambung Abi, aku hanya diam.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, ketika Abi menyusulku duduk di teras samping. Dari sudut mata, aku sadar dia memperhatikanku, tapi tetap saja kehadirannya tak kugubris. Aku masih saja sok sibuk membaca laporan dari kantor. Entah firasatku saja, atau dia memang ingin membahas topik yang aku hindari.

"Kamu aneh setiap ketemu Axel. Axel juga sejak kenalan sama Zilli ekspresinya berubah, tak terbaca. Ada apa sih Ra?" Abi menggenggam tanganku. Aku hanya diam dan memijat pelipisku yang seringkali sakit setiap kali topik mengenai Axel muncul.

"Ibu juga tadi tanya banyak soal Axel ke aku, sempat banding-bandingin sama Zilli juga. Axel juga, tanya detail banget mengenai Zilli. Sorry Ra... mungkin nggak sih firasatku benar? Axel, kamu, Zilli, kalian punya sejarah yang kami semua nggak tahu?" lagi Abi bertanya.

Keterkejutanku tertangkap olehnya, tapi lagi-lagi aku hanya terdiam tak bisa menyanggah ataupun mengiyakan.

"Sorry...sorry..." Abi mengubah nada suaranya, " Aku nggak nuduh Axel itu Ayah biologis Zilli, mungkin Axel kebetulan kenal sama Ayahnya Zilli. Nggak mungkin banget aku nuduh Axel yang jadi Ayahnya Zilli, aku sangat kenal dia, pribadi yang sangat bertanggungjawab sahabat aku yang satu itu." sambung Abi kemudian.

Kali ini tanpa sadar emosiku meledak, "Kenapa sih, ada apa sama kalian semua?! Nggak Ibu, nggak kamu, bahkan Axel yang baru muncul lagi mendadak bahas-bahas soal Ayah biologis Zilli! Kita udah sepakat ya Bi, aku udah pernah bilang, jangan pernah ungkit masalah ini lagi! Terus apa maksud kamu tadi?! Axel laki-laki bertanggungjawab?! Maksud kamu aku gitu di sini yang naas dapet peran perempuan binalnya?! Nggak usah sok tahu Bi! Kamu nggak mengenal Axel sebaik yang kamu kira! Akan bilang apa kamu kalau ternyata Axel ayah kandung Zilli?! Sahabat kamu yang bertanggungjawab itu bisa ceroboh juga, bisa apa kamu?!" tanpa sadar aku mengucapkan hal yang tidak seharusnya. Kemarahan menguasai logikaku, tak sempat berpikir, semua sampah yang menyesakkan akhirnya termuntahkan tanpa rencana.

Abi diam, sorot mata itu nggak salah lagi, sorot terluka tampak jelas dimatanya. Aku menjauh, menutup wajahku, mencoba bernafas perlahan.

"Kamu nggak salah ucap kan Ra? Aku nggak salah dengar kan? Jangan bercanda Ra, aku serius." setelah saling diam beberapa saat, Abi akhirnya menemukan kembali kesadarannya dan mulai membuka suara.

Aku melangkah ke dalam rumah dan mengambil kunci mobil Abi. Kuletakkan kunci itu di tangannya. "Pulang Bi... aku perlu waktu sendiri." Abi tampak ingin menolak, "Please..." dengan suara pelan aku memohon padanya.

Tanpa basa basi ABi melangkah gontai menuju pintu depan. Tak lama kudengar suara mesin halus dihidupkan, semakin lama semakin tak terdengar suaranya. Abi pergi dan aku masih terduduk di teras dengan sesak yang semakin menghimpit.

"Tuhan...enam tahun lalu dia pergi, enam tahun lalu aku sudah membulatkan tekad tidak pernah akan ada 'KAMI' lagi, enam tahun lalu aku menguatkan diri dengan hanya 'aku' dan 'dia'. Enam tahun sudah hidupku normal, berusaha untuk tetap normal tepatnya. Tapi ada apa sekarang? Masihkah Kau murka karena kecerobohanku dulu? Tapi kenapa baru sekarang hukuman-Mu datang, setelah enam tahun? Dan mengapa harus dengan kemunculannya? Haruskah kuteruskan kembali cerita 'aku' dan 'dia' yang tidak pernah final? Tidak bisakah Kau cukupkan kebahagiaanku hanya dengan Zilli? Menyudahi cerita tak berkesudahan ini." hatiku menangis.

".... Akan bilang apa kamu kalau ternyata Axel ayah kandung Zilli?! Sahabat kamu yang bertanggungjawab itu bisa ceroboh juga, bisa apa kamu?!"
Masih terngiang jelas ucapan Nara tadi, dengan kemarahan yang melingkupinya, dia tak sadar sudah membuka rahasia besar sejarah hidupnya.

"Gila! Jadi Axel orangnya, sahabat terbaik gue! Damn!" rutukku.

Kupinggirkan mobil, menyetir dalam keadaan emosi banyak yang celaka. Aku belum punya rencana mati muda dengan beban penasaran begini.

Dengan ingatan yang terbatas, aku coba merunut kejadian enam tahun lalu. "Axel berangkat ke NY, Nara balik dari Sing sebulan kemudian. Begitu sampai, besoknya dia kasih kabar kalau dia hamil, sembilan bulan kemudian Zilli lahir. Hmmm... harusnya memang di Sing kejadiannya. Apa mereka sempat ketemu di Sing? Sial si Axel, bisa-bisanya hamilin anak orang terus kabur begitu aja." gumamku.

Kutekan nomor kontek Axel, " nomor yang anda tuju berada di luar jangkauan." terdengar suara mesin perekam di seberang sana.

"Shit! Jangan sampai lo kabur lagi Xel!" umpatku. Kuhidupkan kembali mesin mobil, entah kemana akan kukemudikan mobil ini.

Kejutan?!

Okay, I'm really confused now. Tadi aku sudah mencoba untuk menekan amarahku terhadap Jason dan menikmati kehadiran Abi, Nara, ibu mereka dan bahkan Zilli. Namun percakapan singkat dengan Nara sebelum kami berpisah mengubah amarahku menjadi kebingungan yang sangat. And when I say confused, I mean REALLY CONFUSED. Sebelumnya, rencanaku setelah ini amatlah jelas. Tadi setelah selesai makan siang, aku berpura-pura ke toilet. Padahal aku memesan last minute ticket ke Hong Kong, dengan rencana untuk menyambangi Jason dan mengkonfrontasi dia soal Zilli. Tapi sekarang... aku benar-benar bingung tentang apa yang akan aku lakukan.


Aku tersadarkan dari pikiranku saat panggilan boarding pesawatku terdengar. Iya, dengan pikiran yang kalut aku tetap memutuskan untuk berangkat ke Macau malam ini juga. Tergantung apa yang terjadi di sana, mungkin aku akan pulang besok atau lusa. Bagaimanapun juga, Jason adalah satu-satunya petunjuk yang aku punya untuk mengungkap siapa ayah Zilli. Pada saat-saat seperti inilah aku berterimakasih kepada Tuhan karena aku telah diberikan berkah yang melimpah untuk dapat memuaskan ego dan rasa ingin tahuku.

"Thank God for the Internet!" seruku dalam hati. Tanpa kehadiran WiFi di Bandara Soekarno Hatta, aku tidak akan bisa menghubungi Jason dan mendapatkan alamatnya.


So, a flight, a speed boat trip and a taxi ride later... here I am: Lily Court Apartment - Ocean Garden - Taipa Island. Aku melihat kiri-kanan dan mengagumi lingkungan sekitar. Tempat ini sangat family-friendly, sama sekali tidak mencerminkan kepribadian Jason. Seraya menekan tombol no 17, aku merenungkan perubahan Jason sejak dia mengenal tunangannya itu. Berita pertunangannya dengan Ling memang menjadi topik pembicaraan heboh di keluarga besar Raharjo.

"Akhirnya Jason bisa juga jadi pria yang lebih dewasa dan bertanggung jawab." kata Eyang Uti lega saat mendengar beritanya.


"What brings you here?" adalah ucapan pertamanya saat membuka pintu. Satu tabiat Jason yang straight-forward ini tampaknya tak akan pernah hilang. Terdengar suara Ling menimpali, "Jason, Honey, is that how you treat your dear cousin?"

"Ling, how's your study?" kataku pada wanita berperawakan kecil itu saat dia menampakkan wujudnya sembari mencubit Jason.

"You wouldn't believe how anal those professors can be." komentar pedasnya atas para professor di University of Macau.

“I’ll take your word for it.” sahutku lagi.


Setelah beberapa lama bersenda gurau dan mengejar cerita tentang rencana pernikahan mereka, Ling pun meninggalkan Jason dan aku berdua, “I’m off to bed. You boys just talk about what it is that you need to. See you in the morning.”

“So? What brings you here?” tanya Jason sekali lagi kepadaku dengan wajah serius yang terus terang saja asing bagiku.

“Well, Zilli.”

“What about him?” tanyanya dingin.

“Oke, gue ga bakalan nuduh lo yang enggak-enggak. Nara udah bilang dengan jelas bahwa lo bukan bokapnya. Tapi lo satu-satunya clue yang gue punya soal Zilli.”

“Buat apa sih tanya-tanya soal Zilli?”

“He’s Nara’s son, Man.”

“Gue juga tau itu, Xel.”

“Ya masa mesti gue terangin lagi ke lo bahwa gue itu ga bisa lepas dari Nara?”

“Oke, terus kenapa kalo lo ga bisa lepas dari Nara?”

“Jason, if you ask me one more silly question, I swear I’ll whack that oversized head of yours.” hardikku kepadanya.

"Axel, Cousin... chill...” kata Jason seraya menuangkan kopi yang tadi dibuatkan oleh Ling ke cangkirnya dan cangkirku. “Sit down and I’ll tell you the whole story.”

Aku pun duduk di hadapannya dan menatapnya lekat-lekat.

“Inget waktu terakhir gue ngajak lo gila-gilaan di Jakarta?"

"How can I forget? Kita gila-gilaan pake modal hasil double dare lo ke gue. That was my worst hangover ever."

"Hahaha, good then. You're not following my footsteps.”

“Oke, hubungan gila-gilaan waktu itu sama Nara?”

“Lo masih inget apa yang lo lakuin buat dapet tu duit?”

“It was my one and only time that I went to a sperm bank. What do you think?”

“Well, you know what?"

"Apa?" sambarku tak sabar.

"Gue dan Nara waktu itu di Spore juga drunk gila-gilaan dan beli sperma lo dari itu bank. Man, it cost me a fortune. Ternyata transfer satu vial kecil berisi protein beku bisa banget ngabisin gaji gue sebulan. Kampret." Sampai titik ini, dahiku sudah mulai menitikkan keringat dingin mengambil sebuah kesimpulan yang tampaknya amat absurd.

“Besoknya kita ambil dan langsung inseminasi buatan di klinik temen gue yang dokter kandungan.”

"Lo jangan bilang..." kataku untuk meminta konfirmasi terakhir.

"Iya. Zilli is yours." sahutnya dengan nada tenang dan wajah yang tersenyum puas.

Aku terdiam dan terhenyak.

“Glad I could get that out of my chest. See you in the morning.” Katanya lagi sambil beranjak ke kamar tidur.

Thursday, April 14, 2011

His Curiosity

Masih lekat sekali dalam ingatanku, tatapan kaget Axel saat dikenalkan dengan Zilli tadi. Sikapnya yang tampak wajar, dibuat tampak wajar tepatnya, tetap terlihat canggung di mataku. Entah kenapa lagi-lagi aku merasakan tekanan yang sama berada di dekatnya, meskipun ada Zilli dan Abi di sana juga Bunda dan Ibu ketika makan bersama tadi. Zilli menemaniku membereskan pakaiannya dengan celoteh kecilnya. Anak ini lucu, pintar, dan semakin hari semakin mirip Papanya.
"Hhhh..." tanpa sadar aku mengehela nafas.
"Mam... capek ya?" tangan mungil Zilli menyentuh tanganku. Aku tersenyum kecil seraya mengelus sayang kepalanya.
"Mama capek tapi seneng akhirnya ketemu kamu setelah seminggu nggak sama-sama." jawabku. Zilli memelukku erat.
"Tapi berarti Zilli nggak bisa main sama Eyang lagi ya mulai sekarang?" tanyanya kemudian.
Aku mengangguk cepat, "Eyang harus pulang ke Solo, kasihan Tante Keisha sendirian di sana. Nanti ya...kalau Zilli libur lagi, kita berdua yang ke sana, ketemu Eyang sama Tante Kei."
Ada binar penuh harap di mata Zilli, "Mama janji." sambungku lagi meyakinkannya.

"Ra..." suara Ibu membuat Zilli berlari menuju pintu dan membukakannya. Ibu tersenyum padanya, "Zilli main sama Om Abi dulu ya, Eyang mau ngobrol sama Mama." Zilli mengangguk kemudian pergi keluar kamar.
Dari cara pandang Ibu, aku sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakannya.
"Kata Abi, Axel itu juga teman kamu, teman lama kamu Ra? Kok Ibu nggak pernah tahu yah?" pertanyaan Ibu penuh selidik.
"Mmm... iya dulu Bu, udah lama banget." jawabku pelan.
"Maaf nih ya Ndok... Bukan maksud Ibu mau ikut campur atau mau tahu urusan kamu. Cuma Ibu dari tadi pertama dikenalin sama Nak Axel, nggak ngerti kenapa Ibu agak terganggu sama senyum juga matanya dia."
"Hahahaha.." aku tertawa mendengar ucapan Ibu, " Yo wis Bu... bilang aja kalau begitu sama Axel, jangan ketawa dan jangan buka matanya." godaku.
"Hush... ora ngono... Maksudku ngene Ndok... Axel karo Zilli iku mirip, aku sadar waktu Zilli ngajak dolanan mobil-mobilane kui. Ngguyu-ngguyune, mripate, persis banget."
Seketika itu juga aku membeku, "Apa-apaan ini... kenapa Ibu tiba-tiba membahas topik yang sudah lama sekali tidak muncul ini." ujarku dalam hati.
"Bu...kita udah sepakat nggak akan bahas ini, aku udah bilang siapa dia, dimana dia, aku akan simpan sendiri. Tolong Bu..jangan berasumsi yang nggak seharusnya, nggak enak kalau sampai ada orang lain yang dengar." jelasku kemudian.
Ibu hanya menggenggam tanganku, mengelusnya, dan menatap mataku. Aku pun tersenyum dan coba mengalihkan topik pembicaraan.
"Jadi Ibu yakin nih, mau ke bandara diantar Bunda Maya aja? Nggak mau mampir Menteng dulu?" tanyaku memastikan.
"Iya, kamu pulang sama Zilli aja. Nanti Maya yang antar Ibu ke bandara. Kasihan kalau kamu pakai antar Ibu dulu ke bandara, capek nanti, fokus sama Zilli dan kerjaan kamu aja ya Ndok. Jaga kesehatan..."
Aku mengangguk mantap.

Selesai mengobrol dengan Ibu, bukan berarti aku segera bisa pulang ke rumah. Zilli masih asik bermain dengan Abi dan Axel. Aku hanya mengamati dari teras kamar. Dua jam kemudian, kurasa saatnya aku membawa Zilli pulang. Aku terlalu lelah, butuh istirahat segera.
"Zillian, kita pulang sekarang." ada nada tegas dalam suaraku. Meskipun kulihat Zilli masih ingin menghabiskan waktu dengan pria-pria dewasa itu, tak kubiarkan diriku mengalah untuk kesenangannya. Sejak kecil dia memang tidak aku biasakan bermanja-manja.

Dengan langkah kecilnya Zilli mendekat, "Pulang sekarang Mam?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk mantap.
"Wah...gue mesti balik juga nih sepertinya Bi." ujar Axel, Axel dan Abi ternyata sudah berdiri di sampingku, "Sama-sama aja ya Ra, tadi kan berangkat juga kita sama-sama." sambung Axel kemudian.
Aku menggeleng keras, "Gue pesen taksi kok."
"Belum pesen kan Ra? Nggak usah Xel, biar gue yang antar Nara sama Zilli balik. Ada barang gue yang ketinggalan juga di Menteng." sahut Abi.
Ekspresi Axel tak terbaca begitu mendengar niatan Abi.
"Asik... diantar Om Abi! Nginep aja ya Om nanti.." Zilli mulai merengek.
"Hahahaha.." Abi tertawa seraya mengacak-acak rambut Zilli, "Sebentar ya, Om ambil kunci mobil dulu. Eh, kamu udah pamit sama Eyang sama Nenek belum? Pamit dulu yuk." Abi menggandeng tangan Zilli.

Aku ditinggalkan begitu saja dengan Axel. Lagi-lagi mati gaya, lagi-lagi nggak tahu harus bicara apa.
"Ra, terakhir kamu ketemu Jason kapan?" tanya Axel tiba-tiba.
Aku tidak siap dengan pertanyaan Axel, hanya bisa membeo "Jason?"
"Yes, my cousin."
"Dua bulan lalu waktu dia ke Jakarta juga gue ketemu kok. Masih di Makau kan dia sekarang?"aku bertanya balik.
"Kebetulan ketemu atau memang udah arrange buat ketemuan?" entah kenapa ada nada penuh selidik dalam pertanyaan Axel ini.
Dengan sedikit menaikkan alis, aku menjawab "Sengaja ketemu, gue sering kok kontekan sama dia. Minggu lalu juga sempet video chat sama Jason, dia mau nikah lo tau?"
Ada kerutan di dahi Axel mendengar jawabanku, "Enteng bener kamu bilang dia mau nikahnya, nggak sedih Ra? Nggak merasa terbuang ya kamu?"
Oke, kali ini omongan Axel mulai tidak bisa aku tebak apa maksudnya. "Sedih? Terbuang? Maksudnya apa ya Xel? Kok kesannya kayak gue punya hati dan ngarep banget sama sepupu lo itu."
"Zilli... Dari pertama dikenalin tadi, muka Zilli itu seperti familiar banget." ucapnya pendek.
Kali ini aku merasa sudah tidak ada gunanya membahas apapun dengan Axel.
"Zil! Bi! Lama banget ya cuma pamit aja!" teriakku ke dalam rumah.
"Sebentar!" suara Abi kini yang menimpali.
Aku masih menatap tajam Axel sambil menunggu Zilli dan Abi. Axel pun sepertinya masih menunggu dengan tatapan bertanya. Tak menunggu lama, Zilli dan Abi muncul tak ketinggalan Ibu dan Bunda. Aku pamit pada Ibu dan Bunda Maya, begitu pun Axel. Zilli sudah masuk terlebih dulu ke dalam mobil, Abi membantuku memasukkan travel bag, dan aku berdiri bersisian dengan Axel.
"Jason bukan bokapnya Zilli, kalau lo mau tahu." ucapku cepat dengan suara serendah mungkin. Segera kubuka pintu mobil dan duduk manis, tanpa menoleh lagi pada sosok pria yang masih menatap bingung padaku.

Abi segera melajukan mobilnya menuju Menteng, meninggalkan mobil Axel yang membuntuti di belakang mobilnya. Pikiranku masih berkelana, bisakah rahasia ini tetap aku simpan? Aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia bersama Zilli. Kenapa juga aku memberitahu mengenai Jason tadi, toh hal itu nggak akan merubah apapun. Yahh paling tidak aku membersihkan satu nama dari tuduhan salah alamat. Kutengok ke belakang, Zilli sudah tertidur pulas tampak damai dan tenang, sepertinya aku akan ikut menyusulnya saja ke alam mimpi. Lagi-lagi mempercayakan Abi membawaku pulang, kali ini dengan malaikat kecilku.