“Ok…then Bi, any comment?”
Saya dan Cerita
Wednesday, October 26, 2011
The Calm after the Storm
“Ok…then Bi, any comment?”
Wednesday, June 29, 2011
The Day After
AXEL’S APARTMENT
Aku terbangun mendengar denting gelas di dapur. Itu pasti Abi yang sudah terbangun lebih dahulu. Kucoba menggerakkan badanku namun seluruh bagiannya terasa sekaku kayu kering di padang gurun. Peristiwa kemarin malam bukan hal yang bisa dilakukan sambil lalu. Dan hal ini harus tetap dihadapi. Abi tak bisa kubiarkan terlalu lama menebak-nebak apa yang terjadi. Kenyataannya sudah cukup absurd tanpa dia menebak kiri dan kanan. Kupaksakan badanku untuk bergerak. Otot yang menjerit tak kugubris, lebam yang berdenyut tak kuhiraukan. Aku harus membeberkan semuanya pada sahabatku itu.
Tampaknya aku harus meminta Alena untuk menggantikanku hari ini. Toh dengan keadaan sekarang, untuk apa aku memaksakan alasan kerja untuk bertemu dengan Nara?
“Alena di sini. Bisa saya bantu?” Dia mengangkat setelah dering ketiga.
“Sibuk sekali ya Len? Ampe ga sempet liat siapa yang nelpon?”
“Oh, Axel? Ga sibuk sih. Ini lagi nyetir.”
“Hari ini schedule lo penuh ga?”
“Paling nanti sore ada janji sama orang-orang yang direkrut. Kenapa emangnya Xel?” nada suaranya agak berubah.
“Sorry banget, gue mestinya jam 11 sebelum lunch ketemu sama Nara buat urusan interior kantor. Gue baru pulang dari Macau. Asli cape banget. Bisa tolong gantiin gue ga?”
“Oh, iya. Gapapa ko Xel. Dari Macau?”
“Iya, ada urusan mendadak Sabtu malem gue mesti ke situ. Belum kebayar tidurnya.”
Oh, oke deh. Nanti ketemu lo di kantor?”
“Masih ga tau, tergantung urusan gue ini beres ato ga. Details soal itu gue emailin sekarang juga ya. Thanks, Len.”
“Don’t mention it,” balasnya seraya menutup telepon.
Aku pun bergerak menuju dapur. Semerbak wangi kopi menyeruak ke dalam hidungku, sebelum aku sempat berkata, Abi melihatku dan berkata, “Duduk Xel. Gue masih ga percaya sama cerita lo kemaren.”
Aku pun duduk di depannya, di mana ada secangkir cappuccino yang masih mengepulkan asap. Kuseruput emas hitam itu, “Thanks for the coffe.”
“Sekalian aja gue buatnya. Jadi bener yang tadi malem lo bilang ke gue?” tanyanya sekali lagi.
“Iya. Gue juga bingung. Ga abis pikir. Ko bisa-bisanya Nara bertindak begitu?”
Abi menatapku dan kembali mengamati cangkirnya, “Gue juga ga ngerti. Nara itu logical. Dia bukan tipe orang yang impulsif begitu. Gue perlu tau sesuatu.” Nada bicaranya membuatku bergerak tak nyaman di tempat dudukku, “Hubungan lo kaya apa sih sama si Nara?”
Ga ada cara lain, aku harus membeberkan semua masa laluku dengan Nara pada Abi. “Truth be told. Gue dulu pacaran sama Nara.” Abi tak berkata apa-apa. Satu reaksinya hanyalah matanya yang kini menatapku heran. “Back before I was even in the States.”
Keheningan kembali menyeruak ke dalam dapur yang baru saja dimasuki cahaya mentari pagi ini. Kami berdua tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Terhanyut dalam berbagai macam skenario what-ifs dengan berbagai macam situasi yang mungkin kami alami.
“Ceritanya absurd, Xel,” sahut Abi lagi memecah kesunyian yang panjang.
“Lo kira gue udah percaya? Gue jujur belom pernah liat Nara mabok. Gue ga nyangka dia segitu impulsive kalo lagi drunk.”
Kesunyian itu kembali menyeruak. Setelah mulai pusing memikirkan puncak keanehan dalam hidup Nara, aku pun mulai terdistraksi oleh denyutan lebam dan memar serta teriakan sendi-sendiku. “Yang pasti sih kemaren itu abis-abisan lo all out sama gue. Kampret.”
“Pertanyaannya sekarang kita ngapain dari sekarang.”
“Itu mestinya pertanyaan gue. Lo mau apa setelah tau Zilli itu anak lo?” sambar Abi.
“Jujur, gue ga tau mesti apa,” sahutku dengan dahi berkerut. “It’s not like I’m really finished with Nara. Tapi keliatannya lo juga masih tetep ngarepin Nara kan?”
“Well, kalo ga gitu, masa gue sampe niat kaya kemaren malem. Dan waktu itu di Bogor pun gue udah cerita kan ke lo?” sahutnya dengan nada datar.
“Yang pasti, gue ga mau lo mundur karena gue. Gue ga ada sebulan di Jakarta. Lo udah terus nemenin Nara sekian lama ini. Let this be Nara’s decision.”
“You’re Zilli’s father. It’s your right,” Abi menatapku dengan mata dingin penuh perhitungannya.
“Hak gue? All I did was selling my sperm for booze money. Dari kedeketan lo sama Zilli, you’re more his father than I am. Gue ga pungkiri gue sayang Nara tapi gue masih berhutang satu penjelasan soal kenapa dulu gue pergi.”
“You have a point there,” tatapan mata Abi akhirnya melunak.
“Daripada debat ga jelas begini, mendingan kita langsung ke tempat Nara dan jelasin semuanya. Dengan situasi seperti ini, lo juga harus ikut.”
NARA’S OFFICE
Kami memutuskan untuk menggunakan mobil masing-masing. Rupanya Abi memang sudah sangat dekat dengan Nara. Bahkan security kantor Nara pun sudah tidak asing dengannya. Itu memudahkan kami untuk langsung naik ke tempat Nara.
Saat memasuki kantor Nara, kami langsung menuju lantai atas. Aku melihat Zilli yang sedang tertidur dan Nara di sampingnya. Dia menatap anak kami dengan padangan penuh kasih dan kemudian menghela napasnya, "Heuhh... mommy love you Zilli."
"I love the both of you..." sambar Abi. Nara terperangah dan membalikkan badannya. Saat Nara melihat kami, keheranannya pun bertambah. Mungkin dia bertanya-tanya kenapa kami berdua memiliki pelipis yang ditambal plester, bibir yang tampak sobek, dan bengkak di sana sini.
Aku pun menambahkan, “He’s telling the truth. He does love the both of you.”
“Let’s talk downstairs,” Nara membimbing kami ke kantornya kembali.
Setelah kami semua di ruang kerja Nara, Nara pun menutup pintu dan berseru, “What the hell happened with you two?”
Thursday, May 26, 2011
Starting a New Week
Wednesday, April 20, 2011
The First Reaction
Untunglah sepersekian detik sebelum pukulan itu mendarat ke ulu hatiku, aku menyadari tarikan napas Abi dan perubahan raut wajahnya yang memberitahuku bahwa aku akan mendapatkan rasa sakit yang cukup dahsyat.
"Uhuk," aku terbatuk saat menerima pukulan Abi. Tentunya reaksi tubuh selanjutnya adalah normal mengingat persiapanku menerima pukulan tersebut hanyalah menahan napas dan mengeraskan otot perut. Dunia langsung mematikan lampu di tengah hari bolong.
Saat aku tersadar, Abi tak terlihat di sekitarku. Aku terbangun di ruang kesehatan bandara. Perawat yang sedang berada di situ pun menyapaku, "Bapak Axel?"
"Iya, Mbak. Betul saya Axel," jawabku.
"Syukurlah Anda sudah siuman. Orang yang tadi memukul Anda tampak terlatih sekali langsung mengincar ulu hati. Ajaib juga Anda tidak mengalami luka dalam."
"Oh, yah... mungkin saya memang beruntung, Mbak." sahutku singkat. Aku tidak mau membeberkan lebih banyak detail pribadi kalau memang tidak ada luka serius. Aku langsung menegakkan badanku, yang rupanya adalah suatu kesalahan.
"Pak Axel, sebaiknya jangan memaksakan diri," sahut si perawat.
"Tak apa-apa, Mbak. Mungkin karena capek saja. Saya bisa langsung pulang kan?" tanyaku padanya.
"Tadi dokter jaga memang berkata bapak boleh langsung pulang. Saya heran bapak terpukul begitu keras tapi tak mengalami luka serius," cerocos si perawat lagi.
"Anggap saja hari ini hari keberuntungan saya," sahutku seadanya sembari melangkah pergi ke mobilku yang terparkir di areal parkir menginap.
Tiga jam setelah itu, aku menunggu Abi di gym apartemenku. Aku kali ini siap. Jika Abi masih mengamuk, aku siap menghadapinya. Jika dia ingin mendengarkan penjelasanku, aku pun sudah siap membeberkan fakta yang baru saja kuketahui kemarin.
"Berabe deh nih." adalah isi pikiranku saat aku melihat Abi datang mengenakan celana pendek dan taping di kedua tangan dan tulang keringnya. Abi melihatku dengan mata penuh amarah.
"Bi..." Dia tak hiraukan sapaanku. Badanku pun langsung menegang. Tadi sementara menunggunya aku sempat berlari di treadmill, aku hanya bisa berharap pemanasan itu cukup untuk menghadapi Abi. Aku menyesali kenyataan bahwa kesiapanku lebih ke arah mental daripada fisik.
"Abi..." Aku mencoba kembali, "Listen me out, will you?"
"I'll listen," akhirnya dia menyahut. "After I beat your despicable ass up!" teriaknya sambil berlari ke arahku. Aku langsung menaikkan tanganku sebagai guard dan memastikan kakiku tak terpatri ke lantai karena ketegangan.
Serangan pertamanya menunjukkan dia tak berkarat. Orang-orang kebanyakan akan masuk dengan flying kick, yang akan bisa ku-sidestep dengan mudah dan kemudian kuberikan serangan apa saja yang terlintas dalam pikiran. Serangan pertamanya adalah sebuah front kick kiri yang terus terang menghambatku untuk memberikan respons apapun selain sidestep ke kanan. Kepalan tangan kanannya langsung menyambutku saat kaki kirinya menjejak tanah. Terpaksa aku mengorbankan tangan kiriku dan melepaskan pukulan kananku ke dagunya.
Setelah tiga serangan awal itu, semua hal yang kami lakukan setelah itu seperti bercampur baur. Aku memberinya beberapa bilur dan memar, dia memberiku hal yang sama. Aku berhasil menggores pelipis kanannya, dia robek pelipis kiriku dengan sikutnya. Setelah 15 menit perkelahian berlangsung, akhirnya kami pun mulai berkata-kata.
"Why did you do it?" tanyanya dengan bibir penuh darah, "Kenapa lo sampai tega menodai Nara, Xel?"
"Apa lo percaya kalo gue bilang gue ga ngapa-apain Nara?"
"Jangan anggap gue idiot, Xel! Zilli sudah mau 6 tahun."
"Tenang dulu dan dengar gue, Bi. Gue aja ga percaya waktu denger pertama kali."
Setelah ceritaku selesai, Abi dan diriku membersihkan diri di bathroom gym. Again, thank God for the hot water. Aku suruh Abi untuk menginap di sini malam ini. Baru pernah kulihat Abi seperti ini. Kalut, marah, eksplosif, dan akhirnya... submisif di hari yang sama. Mungkin dia kaget mendengar kegilaan Nara, aku pun masih merasa kaget. Mungkin kami sekarang mengalami syok yang tertunda. Komunikasi kami setelah pembicaraan itu hanyalah sebatas temu pandang, anggukan dan sesekali, senyuman getir. Senyuman getir Abi karena perasaan bingung, sakit terkhianati dan overwhelmed. Senyuman getirku karena kenyataan bahwa pilihanku 6 tahun terdahulu adalah bukan yang terbaik bagi Nara.
"Talk to you in the morning," kataku pada Abi sebelum kumenutup mata. Oh Tuhan, hari ini melelahkan sekali.
Friday, April 15, 2011
And the emotion take a part
".... Akan bilang apa kamu kalau ternyata Axel ayah kandung Zilli?! Sahabat kamu yang bertanggungjawab itu bisa ceroboh juga, bisa apa kamu?!"
Kejutan?!
Okay, I'm really confused now. Tadi aku sudah mencoba untuk menekan amarahku terhadap Jason dan menikmati kehadiran Abi, Nara, ibu mereka dan bahkan Zilli. Namun percakapan singkat dengan Nara sebelum kami berpisah mengubah amarahku menjadi kebingungan yang sangat. And when I say confused, I mean REALLY CONFUSED. Sebelumnya, rencanaku setelah ini amatlah jelas. Tadi setelah selesai makan siang, aku berpura-pura ke toilet. Padahal aku memesan last minute ticket ke Hong Kong, dengan rencana untuk menyambangi Jason dan mengkonfrontasi dia soal Zilli. Tapi sekarang... aku benar-benar bingung tentang apa yang akan aku lakukan.
Aku tersadarkan dari pikiranku saat panggilan boarding pesawatku terdengar. Iya, dengan pikiran yang kalut aku tetap memutuskan untuk berangkat ke Macau malam ini juga. Tergantung apa yang terjadi di sana, mungkin aku akan pulang besok atau lusa. Bagaimanapun juga, Jason adalah satu-satunya petunjuk yang aku punya untuk mengungkap siapa ayah Zilli. Pada saat-saat seperti inilah aku berterimakasih kepada Tuhan karena aku telah diberikan berkah yang melimpah untuk dapat memuaskan ego dan rasa ingin tahuku.
"Thank God for the Internet!" seruku dalam hati. Tanpa kehadiran WiFi di Bandara Soekarno Hatta, aku tidak akan bisa menghubungi Jason dan mendapatkan alamatnya.
So, a flight, a speed boat trip and a taxi ride later... here I am: Lily Court Apartment - Ocean Garden - Taipa Island. Aku melihat kiri-kanan dan mengagumi lingkungan sekitar. Tempat ini sangat family-friendly, sama sekali tidak mencerminkan kepribadian Jason. Seraya menekan tombol no 17, aku merenungkan perubahan Jason sejak dia mengenal tunangannya itu. Berita pertunangannya dengan Ling memang menjadi topik pembicaraan heboh di keluarga besar Raharjo.
"Akhirnya Jason bisa juga jadi pria yang lebih dewasa dan bertanggung jawab." kata Eyang Uti lega saat mendengar beritanya.
"What brings you here?" adalah ucapan pertamanya saat membuka pintu. Satu tabiat Jason yang straight-forward ini tampaknya tak akan pernah hilang. Terdengar suara Ling menimpali, "Jason, Honey, is that how you treat your dear cousin?"
"Ling, how's your study?" kataku pada wanita berperawakan kecil itu saat dia menampakkan wujudnya sembari mencubit Jason.
"You wouldn't believe how anal those professors can be." komentar pedasnya atas para professor di University of Macau.
“I’ll take your word for it.” sahutku lagi.
Setelah beberapa lama bersenda gurau dan mengejar cerita tentang rencana pernikahan mereka, Ling pun meninggalkan Jason dan aku berdua, “I’m off to bed. You boys just talk about what it is that you need to. See you in the morning.”
“So? What brings you here?” tanya Jason sekali lagi kepadaku dengan wajah serius yang terus terang saja asing bagiku.
“Well, Zilli.”
“What about him?” tanyanya dingin.
“Oke, gue ga bakalan nuduh lo yang enggak-enggak. Nara udah bilang dengan jelas bahwa lo bukan bokapnya. Tapi lo satu-satunya clue yang gue punya soal Zilli.”
“Buat apa sih tanya-tanya soal Zilli?”
“He’s Nara’s son, Man.”
“Gue juga tau itu, Xel.”
“Ya masa mesti gue terangin lagi ke lo bahwa gue itu ga bisa lepas dari Nara?”
“Oke, terus kenapa kalo lo ga bisa lepas dari Nara?”
“Jason, if you ask me one more silly question, I swear I’ll whack that oversized head of yours.” hardikku kepadanya.
"Axel, Cousin... chill...” kata Jason seraya menuangkan kopi yang tadi dibuatkan oleh Ling ke cangkirnya dan cangkirku. “Sit down and I’ll tell you the whole story.”
Aku pun duduk di hadapannya dan menatapnya lekat-lekat.
“Inget waktu terakhir gue ngajak lo gila-gilaan di Jakarta?"
"How can I forget? Kita gila-gilaan pake modal hasil double dare lo ke gue. That was my worst hangover ever."
"Hahaha, good then. You're not following my footsteps.”
“Oke, hubungan gila-gilaan waktu itu sama Nara?”
“Lo masih inget apa yang lo lakuin buat dapet tu duit?”
“It was my one and only time that I went to a sperm bank. What do you think?”
“Well, you know what?"
"Apa?" sambarku tak sabar.
"Gue dan Nara waktu itu di Spore juga drunk gila-gilaan dan beli sperma lo dari itu bank. Man, it cost me a fortune. Ternyata transfer satu vial kecil berisi protein beku bisa banget ngabisin gaji gue sebulan. Kampret." Sampai titik ini, dahiku sudah mulai menitikkan keringat dingin mengambil sebuah kesimpulan yang tampaknya amat absurd.
“Besoknya kita ambil dan langsung inseminasi buatan di klinik temen gue yang dokter kandungan.”
"Lo jangan bilang..." kataku untuk meminta konfirmasi terakhir.
"Iya. Zilli is yours." sahutnya dengan nada tenang dan wajah yang tersenyum puas.
Aku terdiam dan terhenyak.
“Glad I could get that out of my chest. See you in the morning.” Katanya lagi sambil beranjak ke kamar tidur.