Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Friday, November 19, 2010

Perempuan yang Kamu Lukai

Sebenarnya aku sudah siap untuk berangkat sendiri menuju Menteng. Tapi sepertinya tingkahku yang berisik pagi-pagi, membuat Abi terbangun dari tidurnya.
"Udah mau berangkat?" Abi tiba-tiba muncul di belakangku.
"Hei Bi..iya sebentar lagi, sarapan dulu. Mau sarapan apa kamu? Aku bikin sandwich nih, kopi?" aku menawarkan padanya. Abi duduk manis di sebelahku dan mengambil secangkir kopi yang sedang kunikmati untuk diminumnya.
"Enak.."
"Hihihi...kalau kamu mau, aku tuangkan buat kamu Bi, itu kan punyaku."
"Nggak apa-apa, biar nggak banyak cucian piring." "Pemalas."

Kami diam menikmati sandwich masing-masing.

"Aku berangkat ya." segera ku ambil backpack berisi portfolioku.
"Aku antar." ujar Abi tegas sambil sedikit berlari menuju kamar tamu untuk mengambil kunci mobilnya.

Jalanan Jakarta masih cukup lengang jika dibandingkan dengan hari kerja yang padat bukan main. Rumahku juga berada di kawasan elit Menteng, tapi jangan dibayangkan rumahku adalah satu diantara rumah-rumah mewah seperti milik pejabat. Bangunannya sederhana, dengan dikelilingi halaman yang luas. Tak sampai 10 menit aku sudah sampai di lokasi Nine. Tampak sebuah mobil terparkir di depannya.

"Hmm... sepertinya Axel sudah datang Ra." ujar Abi. Aku menoleh dengan tatapan penuh terimakasih padanya.
"Perlu aku tunggu?" sambungnya lagi.
"Nggak usah, kamu pulang aja duluan, aku bawa kunci mobil kok. Nanti aku mampir dulu ke kantor ambil mobil. Bilang Bunda maaf aku nggak bisa bantu prepare makan siang, aku nyusul ke sana siangan ya. Thankyou so much Abi." kukecup pipinya sebelum turun dari mobil. Tak lupa aku melambaikan tangan saat dia pergi.

"Hhhh...Tuhan lancarkan segala urusanku hari ini. Amin." doaku dalam hati.

Kulangkahkan kakiku menuju bangunan tua klasik yang masih tampak sangat apik itu, sejujurnya baru kali pertama ini aku merasakan perasaan tegang saat akan bertemu dengan klienku.
"Sampai juga akhirnya Ra." suara Axel mengagetkanku. Ahhh seharusnya aku fokus, kalau begini aku jadi tampak bodoh di hadapannya.
"Sorry..belum terlambat dari waktu yang ditetapkan tapinya kan?!" aku membela diri. Axel tersenyum ramah dan menyodorkan gelas styrofoam. Ada aroma vanilla yang tiba-tiba tercium.
"Aku baru sampai juga kok, tadi sempetin ke Kenanga dulu buat beli ini." dia seperti bisa tahu apa yang disuarakan oleh pikiranku.
Aku berjalan melewatinya, masuk ke sebuah ruangan besar yang nantinya akan jadi ruang kantornya, dan memandang berkeliling. Kutaruh dahulu gelas styrofoam yang dia sodorkan dan mengeluarkan portfolio yang kubawa, kuserahkan padanya.
"Sudah sempat lo lihat kan semalam?" tanyaku. Axel mengangguk.
"Tadi aku sudah berkeliling sambil membayangkan furniture-furniture itu ada di seluruh ruangan kantorku. Dan aku suka, segera kamu bereskan ya Ra." ujarnya. Aku hanya menatapnya dalam diam, yang ditatap sepertinya sadar.
"Kenapa?" tanyanya.
"Udah..begitu saja? Nggak ada hal yang mau lo sanggah? Atau ada yang lo nggak suka dari semua konsep yang gue kasih ke lo?" tanyaku kemudian.
Axel tersenyum, "Kalau aku sudah merasa cocok dengan semua konsep yang kamu kasih, buat apa lagi aku sanggah. Buang-buang waktu aja kan? Nambah-nambahin kerjaan kamu juga kan?"
Aku mengangguk-ngangguk tanda paham dengan penjelasannya.
"Semudah ini bekerja sama dengan si cecunguk angkuh ini." ujarku dalam hati.
"Tapi ada satu hal yang memang aku agak nggak nyaman Ra." ujarnya tiba-tiba, aku menoleh dan menatapnya dengan tanya.
"Sejak kapan kamu jadi ber gue elo kalau ngobrol sama aku ya?" sambungnya lagi.
Pertanyaan macam apa itu, jelas-jelas aku ada di sini dalam konteks profesionalisme pekerjaan. Ya memang harus kuakui tidak sopan bicara "gue elo" dengan seorang klien yang membayar mahal jasaku. Tapi sulit membuat diriku untuk mau berbaik hati menghadapi Axel.
"Sorry... sikapku memang nggak sopan, tapi aku lebih nyaman dengan bahasa itu. Keberatan kalau gue tetep ya ber-gue elo aja sama lo?" tanyaku.
Axel tersenyum dingin, "Keberatan, karena kamu bisa kok berbicara manis sama Abi, kenapa nggak sama aku?"
Ahhhh!! Aku nggak suka sama sikap Axel, laki-laki angkuh, sok punya kuasa, sok ganteng, ya oke dia memang tampak ganteng hari ini dengan kemeja kuning yang lengannya sudah dia gulung sampai siku dan jeans birunya.
"Baik Pak Axel, jadi anda sudah setuju dengan konsep yang saya tawarkan ya? Saya akan langsung telepon ke factory siang ini juga, supaya Senin atau Selasa, semua furniture sudah masuk. Jadi anda dan seluruh karyawan anda bisa segera menempati kantor ini. Ada lagi?" bahasa formal segera aku pakai. Sebelum aku dapat cap perempuan nggak punya etika, aku segera membuat suasana menjadi seprofesional mungkin. Kuteguk teh vanilla yang tadi ditawarkan oleh Axel.
Dia tersenyum, lagi. Oh Tuhan entah sudah berapa kalinya pagi ini dia hanya membalas semua ucapanku dengan senyum. Aku nggak suka sama senyum kamu, membuatku khawatir dan berpikir kamu memiliki rencana tersembunyi dalam senyummu.
"Ok...tapi nggak usah terburu-buru Ra, aku masih ingin bisa bekerja sama-sama kamu." ada seringai nakal di senyumnya. Aku hanya diam tak menggubris ucapannya. Kutinggalkan dia untuk berkeliling sendiri di rumah itu. Ingatanku kembali ke masa 6 tahun lalu,

"Lho Ra... lo nggak tahu? Axel berangkat ke New York kemarin sore." Andrew roommate Axel memberikan pernyataan yang mengejutkanku.
"New York?" aku membeo.
"Iya...dia dapat scholarship di sana, gue lupa apa nama universitasnya. Emang dia nggak cerita sama lo Ra? Udah sejak 3 bulan lalu dia prepare keberangkatannya ke sana, masa sih dia ngga cerita."
"Oh, dia cerita kok Ndrew... Tapi gue lupa kalau kemarin dia berangkat, gue ke luar kota sebulan belakangan ini jadi komunikasi sama Axel nggak begitu lancar. Ya udah nanti gue langsung kontek dia aja kalau begitu. Thanks Ndrew." aku segera undur diri dan memasang topeng wajah baik-baik saja.

Dia yang sudah dua tahun ini dekat denganku, dia yang selama 721 hari nggak pernah absen kirim sms ke ponselku, dia yang tidak pernah lupa untuk bilang selamat pagi dan selamat malam, dia yang selalu mengingatkanku untuk senyum jangan cemberut, dia yang bilang akan selalu jujur padaku, dia yang pernah bilang "aku akan ada selalu untuk kamu", sekarang pergi tiba-tiba tanpa ucapan selamat tinggal. Bahkan berbagi kebahagiaan mengenai impiannya pun tidak? Jauh dalam hatiku aku terluka, tapi aku tidak membiarkan diriku terjatuh lebih dalam lagi. Dia pikir bisa bikin aku sedih dengan sangat lama? Dia pikir sudah berhasil menguasai semua ruang pikiranku? Dia pikir aku akan goyah dengan kepergiannya? Lihat saja, jika kita harus bertemu lagi suatu saat nanti, kamu akan tahu kalau kamu sudah salah memilih perempuan untuk kamu lukai.

"Ra..." suara Axel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh.
"Kamu masih ingat kita pernah ketemu di New York 4 tahun lalu?"
Aku terkejut dan tidak bisa kututupi keterkejutanku itu, dia masih ingat. Aku hanya mengangguk.
"Aku kaget melihat kamu di Central Park siang itu, aku pikir aku berhalusinasi karena pas banget aku lagi kangen sama kamu hari itu." Axel berkata dengan mata yang menerawang dan lagi-lagi senyumnya tersungging manis di bibirnya. "Begitu aku mendekat ternyata memang benar kamu, tawa yang sama yang sayangnya hanya kamu bagi dengan teman-teman kamu. Kamu langsung pergi begitu aku menyapamu, hanya meninggalkan senyuman dingin yang selalu menghantui malam-malam panjangku. Bagaimana bisa kamu ada di sana Ra? Dan meninggalkanku begitu saja?" sambung Axel lagi. Aku menoleh menatapmu, apakah kamu memang benar ingin tahu atau sekedar ingin memuaskan egomu Xel?
"Aku dapat scholarship di New York School of Interior, aku nggak tahu kamu ada di New York juga Xel. Secara kita terakhir ketemu itu hmm... berapa tahun lalu tuh ya Xel? Nggak ada kabar-kabar kamu akan ke New York juga kan?" jawabku. Kalau kamu menunggu kalimat "Aku ke sana karena aku cari kamu Xel" jangan harap.
Axel memandangku, "Tapi kenapa kamu langsung pergi Ra waktu aku nyapa kamu?"
"Ada peraturan ya kalau aku nggak boleh ninggalin kamu? Dan kamu bebas-bebas aja meninggalkan orang tanpa basa basi?!" nada dingin dalam ucapanku mengagetkan Axel. Aku bisa lihat dia terkejut, tidak menyangka akan mendapatkan jawaban yang cukup menusuk. Sementara dia masih terpaku dengan keterkejutannya, aku membenahi barang-barangku, sudah saatnya aku pulang.
"Saya kasih kabar secepatnya begitu kantor anda beres Pak Axel, kalau ada hal yang mungkin masih ingin anda sampaikan seputar design kantor anda jangan sungkan untuk menghubungi saya. Saya pamit dulu karena sudah ada janji, mari Pak." tanpa menunggu tanggapannya aku mengeloyor pergi.

Ini saatnya aku menepati janjiku Xel, kamu harus tahu kalau kamu sudah salah memilih perempuan untuk kamu lukai.

What a Small World

"Masih sulit percaya kamu bisa kenal sama Axel, what a small world." Abi memecah kesunyian, setelah sekian lama kami berdiam diri dalam perjalanan meuju rumahku. Aku hanya tersenyum dingin.
"Kamu kok nggak pernah cerita kalau kenal Axel Ra?" sambungnya lagi.
"Nggak ada yang spesial jadi buat apa aku cerita-cerita, lagipula mana aku tahu kalau kamu bershabat baik sama dia." ujarku. Abi diam tak menimpali.
"Temen-temen kamu memang nggak ada yang nyenengin ya Bi..." tukasku seraya memejamkan mata.

Abi paham dengan bahasa tubuhku yang sudah tidak mau membahas lagi mengenai dinner tadi. Memberikanku kesempatan untuk mengistirahatkan tubuhku sejenak. Yaa karena pikiranku memang belum bisa aku ajak rileks. Ingatanku kembali melayang...

"Terus perempuan cantik di sebelah gw nih nggak berniat lo kenalin Xel?" goda Abi.
"Oh ya kenalin ini Alena Fabian, dia rekan kerja gue." Axel menyeringai nakal.
"Halo Alena gue Abi, dan ini Nara." Abi menjabat tangan si wanita cantik bernama Alena dan mengenalkanku.
"Hai Bi, halo Nara." ucapnya sambil tersenyum. Aku pun membalasnya dengan senyum kecil.
"Silakan lho kalian mau pesan apa, sorry banget nih kita udah makan duluan. Maklum nona satu ini lagi hamil janin monster, bawaannya lapar melulu." sambung Abi seraya menatapku dengan canda, aku melotot padanya.
"Hahaha udah pilih makanan kok tadi kita ya Xel, tinggal nunggu dianter aja." ujar Alena.
"Jadi kapan nikahnya? Udah hamil aja." sambung Axel.
"Ehh...nggak gue nggak hamil, kamu terlalu sih Bi bercandanya." tukasku galak.
"Hahahaha lo jadi serius gitu sih Xel? Itu bercandaan gue soal nafsu makannya Nara yang menggila." seringai Abi.
"Ohh gue pikir seriusan hamil." ada nada kelegaan dari ucapannya Axel.

Seorang pelayan datang membawakan menu pesanan Axel dan Alena.

"Jadi...lo Bi yang mengurus design interior kantor baru kita?" tanya Alena.
"Oh bukan, Nara yang urus soal itu. Gue sih sekedar rekomendasiin dia aja ke Axel." jawab Abi. Aku menoleh saat namaku disebut.
"Aku suka sama design yang kamu buat Ra, benar-benar mewakili konsep company kita." ujar Axel ramah.
"Bagus, jadi kapan bisa mulai gue masukkin furniture? Dan untuk list furniturenya bisa gue kirim malam ini juga, jadi bisa lebih cepat selesai semuanya." dengan sigap aku langsung menjawab umpan Axel.
"Hmm... as soon as possible Ra, karena memang aku ingin segera memulai bisnis ini segera di sini."
"Gue bisa bantu Ra untuk pemilihan furniture-nya." sambung Alena.
"Nggak usah Len, kamu beresin masalah legalitas aja dulu. Biar aku yang handle soal finishing kantor." Perkataan Axel membuatku tiba-tiba merasa dingin. Bagaimana bisa aku menghabiskan waktu bersama dengan dia memilih furniture, kenapa juga harus dia sih, kenapa nggak Alena aja yang mengurus masalah sepele begini. Dia kan bosnya, kenapa nggak dia aja yang beresin legalitas perusahaan. Tiba-tiba jadi banyak "kenapa" muncul di kepalaku.
"Jadi,Senin bisa?" sambung Axel.
Aku meminum teh manis yang sudah mulai dingin, "Besok aja, lebih cepat lebih baik" selain baik untuk perusahaanmu baik juga untuk kesehatan jiwaku.
"Ok, ini kartu namaku dan kartu nama kamu?" Axel menaruh selembar kartu nama di meja yang kmudian kuambil dan kumasukkan ke dalam agenda kerjaku seraya kuletakkan selembar kartu namaku di hadapannya.
"Dan besok jadinya kamu kerja? Padahal aku mau ajak kamu ketemu Bunda." protes Abi. Astaga aku lupa kalau besok ulangtahun Bunda Maya, ibunya Abi.
"Aku lupa, ya ampun... Siangan aku ke sana Bi, nggak lama kok kalau cuma pilih furniture." ujarku dengan penuh rasa sesal, Abi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menanggapi kealpaanku.
"Jadi besok kita ketemu dimana Ra?" tanya Axel.
"Langsung ketemu di Nine aja Xel, supaya lo lebih bisa membayangkan saat furniture itu sudah ditempatkan di sana. Nanti malam gue kirim by email portfolio furniture yang gue design, yang cocok sama konsep kantor yang akan lo tempatin. Pagi aja ya Xel, sekitar jam 8 ketemu langsung di lokasi. Nggak jetlag kan lo?"
"Ok, aku terlalu excited mau kerja bareng kamu sampai nggak berasa jetlag-nya Ra." seringai Axel yang tentu saja disambut dengan cengiran lebar Abi dan senyum manis Alena, aku? Kesal yang membuatku cemberut seketika.
"Yuk Bi..." aku menyelempangkan tasku, Abi menatapku ada kilasan tanya disana.
"Pulang, capek." sambungku. Abi tersenyum, "Baiklah Xel, mesti cabut duluan nih kita. Kasihan Nara udah capek, nanti calling calling ya Xel, toh lo udah di Jakarta bisalah kita atur waktu lagi buat Boys talk kapan-kapan." Abi berkata pelan.
"Yaahh...belum sempat ngobrol banyak ya kita, ya udah gampang deh nanti gue kontek lo ya Bi, banyak yang mau gue bahas sama lo."
"Yuk Len, duluan ya kita... Sampai jumpa lagi." pamitku ramah seraya cipika cipiki. "Mari Xel, duluan ya." aku menjabat tangannya, Abi pun menjabat tangan Alena.

Bisa ya pertemuan yang cuma sebentar tapi aku merasa begitu lama waktu berjalan. Aku harus segera menuntaskan pekerjaanku ini, supaya tidak perlu lagi aku berhubungan dengan Axel.

"Ra...Nara...udah sampai Ra, bangun dulu." tubuhku diguncang pelan. Tak terasa selama berkelana dengan pikiranku, kini aku sudah sampai di rumah.

Aku rindu tempat tidurku, aku butuh tidur. Besok akan jadi hari beratku, semoga tidak ada hal-hal yang terjadi di luar kendaliku. Aku sudah tidak memperdulikan Abi, terlalu lelah, selamat tidur semuanya.

Thursday, November 18, 2010

NINE Advertising

“Sorry ya, Len..sore-sore gini gue maksa minta temenin lu kesini”, ujarku begitu sampai didepan sebuah rumah tua bercat putih dikawasan Menteng yang akan menjadi calon kantor baruku.
“It’s okay, Xel..”, Alena disampingku tampak tersenyum lebar.

Alena Fabian ini teman kuliahnya Jared waktu Seattle. Bedanya, Alena mengambil Accounting, sedangkan Jared mengambil jurusan Design Grafis. Kebetulan Alena ini bekerja di industri advertising selepas kuliah, sehingga Jared mempercayakan persiapan cabang NINE Advertising di Indonesia ini kepadanya.

Aku baru kali ini bertemu dengannya, karena selama ini kami berkomunikasi via email. Ternyata sosoknya secantik yang diceritakan Jared, ditambah sikapnya yang supel dan bersahabat membuatnya terlihat jauh lebih cantik. Selain itu dia juga pintar, cekatan dan sangat berpengalaman. Jujur, aku merasa sangat terbantu sekali dengan adanya Alena mengurus persiapan opening kantor baru ini, NINE Advertising Indonesia atau NINE.

”Yuk, kita masuk. Bagian dalamnya udah disekat-sekat, sesuai dengan konsep yang kamu minta, kita tinggal lengkapi furniture dan detailnya aja”, Alena masih berkomentar panjang lebar ketika kami melangkah memasuki rumah putih ini.
”Temen gue udah referensiin satu designer interior untuk lengkapin semua furniture dan desain kantor ini, jadi soal itu beres”.
”Well, good then...”.

Aku berjalan-jalan keliling dan memusatkan pandanganku, berusaha melihat lebih dekat seluruh tempat ini. Rumah berlantai 2 di daerah Menteng. Tua, tapi berkesan klasik.

“Gimana, kamu suka tempatnya?”, Alena tau-tau sudah berada disampingku.
”Hm..Oke, so far gue suka tempatnya. Retro.”
”Terus kenapa kening kamu mengkerut kaya gitu?”
”Hahaha, gue cuma mikir Jared akan pakai konsep yang sama seperti di LA, modern minimalis, dengan kantor disalah satu gedung paling hip di Jakarta, daerah Sudirman atau Thamrin mungkin?”
”Tapi Menteng ini juga termasuk strategis, tempatnya cozy, enggak terlalu macet. Konsep homey kaya gini akan bikin tim kamu nanti betah kerja, klien-klien juga akan senang datang kesini. Selain itu kan nanti konsep desain interiornya kita akan tetap sesuaikan dengan image NINE, modern minimalis.” Alena berjalan didepanku menaiki tangga menuju lantai 2. Aku mengikuti dibelakangnya.

Aku memang belum pernah melihat seperti apa tempat yang akan dijadikan kantor NINE di Indonesia, hanya mendapat gambaran tentang ukuran ruangan dan jumlah lantai. Dari situlah aku meminta seorang sahabatku yang arsitek untuk membuatkan design kantor seperti yang kuinginkan. Makanya, aku sedikit kaget melihat rumah tua bergaya retro di daerah Menteng ini, sungguh jauh berbeda dari kantorku yang modern minimalis di LA.

NINE sendiri merupakan hasil merger dengan 2 advertising agency lain di Indonesia. Kebetulan Jared membeli hampir 70% saham mereka, sehingga 2 perusahaan itu bergabung menjadi satu dibawah bendera NINE Advertising Indonesia. Hal ini tentunya memudahkan dalam proses persiapan. Aku tidak perlu lagi repot merekrut orang-orang baru yang akan berkerja bersamaku di NINE. Dan untuk urusan recruitment karyawan, tampaknya Alena sudah menanganinya dengan baik. Selain itu, pastinya NINE tidak akan mengalami banyak kendala untuk beradaptasi dengan klien-klien di Indonesia, karena tim marketing kami sudah berpengalaman. Perlu kutambahkan pula bahawa nama besar NINE, sebagai salah satu advertising agency terbaik di US pastinya akan menjadi nilai jual tersendiri untuk klien di Indonesia.

Untuk operasional NINE di Indonesia, Jared mempercayakan aku sebagai Managing Director sekaligus Executive Creative Director. Aku bertanggung jawab terhadap semua kegiatan operasional NINE di Indonesia sekaligus menciptakan branding creative yang sesuai dengan keinginan klien. Sedangkan Alena akan bertanggung jawab dibagian sales sebagai Account Director. Untuk tim pelaksana project seperti Art Director, Copywriter, Illustrator, Account Executive, dll kami menggunakan tim yang sudah ada dari hasil merger 2 company. Otakku segera menggeliat penuh gairah membayangkan proyek besar yang akan segera kutangani. Well, menjalankan advertising agency-ku sendiri?? That’s one of my biggest dream, and I should thanks to Jared for giving me this opportunity.

“Tahu Mbah Jingkrak Resto, Len?”, tanyaku pada Alena ketika kami selesai berkeliling. Hari sudah mulai gelap. Aku melihat jam dipergelangan tanganku. 18:30.
“Of course...tempat itu terkenal banget. Masakan khas Indonesia, deket banget kok dari sini, paling 15 menit.”
”Mau dinner bareng disana? Kebetulan gue ada janji ama temen gue disana”, tanyaku yang segera disambut anggukan kepala Alena.

Ternyata Restoran bernama Mbah Jingkrak ini cukup ramai. Aku harus mencari-cari dulu beberapa saat, baru aku melihatnya dipojokan. Rupanya dia tidak sendiri tapi bersama seorang wanita yang wajahnya tak bisa kulihat jelas dari sini. ”Hm, pasti tu cewe korban rayuan mautnya lagi. Ga berubah emang ni anak”, pikirku sambil tersenyum geli.

” Yuk, Len..tuh temen gue disana”.
Wajahku membeku seketika ketika melihat siapa wanita yang bersama Abi saat ini. Tapi aku segera merubah ekspresi wajahku menjadi seceria sebelumnya, tepat ketika aku dan Alena sampai ke meja mereka.
”Hai Bi sorry, udah daritadi ya?”, aku menepuk punggung Abi.
”Hai, Xel!!!Its nice to see you bro”, Abi segera berdiri dan merangkulku. “Ayo, duduk..duduk..”. kali ini Abi sibuk menyediakan tempat duduk untukku dan Alena.
Aku melirik sekilas ke arah wanita yang sedang bersama Abi, wajahnya terlihat kaget saat melihatku. Kami sempat bertemu pandang sekilas, namun ia segera mengalihkan pandangannya.
”Hai, Ra..ketemu lagi nih kita”, aku memasang senyum paling lebar untuk wanita itu, yang ternyata Nara.
”Hai, Xel..”, Nara membalas sapaanku dingin, seketus pertemuan terakhir kami.
Abi telihat kaget, dan bolak-balik memandang bergantian kearahku dan Nara.
”Kalian udah saling kenal?Woow, what a small world..”
“Yap, gue ama Nara temen lama. Iya kan, Nar?”, aku melirik ke arah Nara, menunggu pembenaran darinya. Namun Nara hanya menjawab dengan deheman pelan lalu sibuk menyeruput teh dihadapannya.

Monday, November 15, 2010

Klien Misterius

Gedung kantorku hanya berupa rumah modern minimalis yang aku sulap menjadi sebuah kantor yang cukup nyaman. Ruangannya terdiri dari ruang tamu yang aku ubah menjadi loby, beberapa kamar aku ubah menjadi ruang kerja untukku dan staf kantor yang hanya berjumlah lima orang, sebuah kamar yang paling besar dijadikan sebagai ruang rapat, 3 buah toilet dan pantry. Cosmo Design Interior nama itulah yang aku pilih untuk bisnis ini.

"Mbak Nara, ini notulen rapatnya. Tadi waktu Mbak meeting ada telepon dari Mas Abi, katanya sekarang pemilik rumah Menteng sudah di Jakarta. Jadi nanti dia akan langsung kontek Mbak Nara buat segala urusannya."
"Thankyou Tari, Abi ninggalin nomor telepon si pemilik rumahnya nggak? Sejujurnya gue udah mati gaya ngerjain proyek rumah Menteng itu, baru kali ini gue ngerjain proyek yang orangnya jauh banget di Amrik." mataku tak lepas membaca notulen yang diangsurkan oleh Tari sekertarisku.
"Itu beneran ya? Mbak Nara beneran nggak tahu siapa pemilik rumahnya? Belum pernah ketemu?" pertanyaan Tari hanya kujawab dengan anggukan kepala.
"Katanya temennya Mas Abi?" lanjut Tari.
"Ya walaupun temennya Abi, belum tentu gue kenal, lo kan tahu Tar gue nggak begitu suka sama gaya bergaulnya teman-teman Abi. Berhubung gue udah kenal dekat sama Abi makanya gue bisa blend sama dia." aku lagi-lagi menjelaskan. Tari hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda dia paham dengan penjelasanku. Jam sudah menunjukkan jam 5 lewat, Tari pun pamit untuk pulang duluan. Dan aku kembali menekuni list furniture yang akan aku sodorkan kepada pemilik rumah Menteng.

Alunan lagu Because Of You milik Kelly Clarkson membuatku berhenti sejenak dari pekerjaanku. Sebuah sms masuk ke ponselku.
Sent: 22 Oct 2010 17:42
Abimanyu <+628111111461>
Naraku pasti kamu masih di kantor, can i sleep at your house tonight?
Aku tersenyum membacanya. Kutekan angka satu di ponselku. Muncul nama Abimanyu di layar ponselku.

"Boleh kan Ra?" suara di seberang sana bertanya dengan lembut.
"Nggak ada halo ya? Langsung todong, hahahaha." jawabku.
"Yah, kamu kok malah cuma ketawa sih. Aku capek banget nggak sanggup kalau harus nyetir ke Bogor."
"Makanya Pak Manajer pakai supir dong." aku masih menggodanya.
"Daripada aku bayarin supir, mendingan uangnya aku pakai buat bayar sewa menginap di rumah kamu." dia masih usaha untuk meluluhkanku.
"Hahahaha...oke tapi bayar ya, aku pegang omongan kamu." aku masih menggodanya.
"How about dinner?" tanyanya.
"Boleh, aku jemput kamu?"
"Aku aja yang ke Senopati, mobil kamu ditinggal aja ya di kantor. Lima menit lagi aku meluncur ke sana."
"Yaaahh Abi! Jam delapan aja deh, aku mau cek list furniture dulu nih." rengekku.
"Ehh besok itu Sabtu ya sayang, nggak ada acara lembur ya. keterlaluan deh kamu kalau soal kerjaan. Kasihan badan kamu kalau kamu forsir terus menerus begitu." entah sudah omelannya yang keberapa kali ini.
"Tunggu ya, sekitar 15 menit lagi aku sampai." tanpa menunggu tanggapanku, Abi sudah menutup pembicaraan.

Oh aku belum cerita ya, namanya Pradipta Abimanyu. Dia ini sosok yang paling aku segani setelah Ibu dan Mbak Keisha. Abi mengenalku jauh lebih baik dari diri aku sendiri, dia sosok yang selalu ada baik saat aku senang maupun susah. Meskipun sangat dekat, aku jarang menemani Abi di waktu-waktunya saat bersosialisasi dengan sahabat-sahabatnya. Tidak banyak juga sahabatnya Abi yang aku kenal dekat. Pandangan sinis dari para pengagum Abi sebenarnya menjadi salah satu hal yang membuat aku tidak merasa nyaman berada di lingkungan pergaulannya. Sudah sampai bosan aku menasehati Abi untuk segera memiliki pasangan supaya ada yang menemaninya di acara-acara khusus, tapi tetap saja dia betah menjomblo. Yes! He is eligible bachelor in Jakarta, arsitek muda berumur 31 tahun dengan wajah tampan, kulit sawo matang yang justru menurutku lebih tampak seperti pria latin daripada orang Jawa . Entah perempuan macam apa yang Abi cari, semua teman wanitaku sudah habis aku kenalkan semua padanya, tapi tidak satu pun yang berlanjut ke tahap serius.

Restoran Mbah Jingkrak jadi pilihan kami. Aku lagi butuh sesuatu yang pedas biar mataku bisa tetap melek malam ini. Yaa, walaupun aku nggak yakin akan bisa bekerja malam ini dengan adanya Abi di rumah. Hampir di semua hari saat Abi singgah, dia selalu saja berhasil membuatku menurut untuk istirahat. Setelah mengambil makanan yang diinginkan kami duduk berhadapan di sebuah meja.

"So...kayaknya kamu udah harus kasih tahu aku deh siapa klien aku yang sebenarnya." aku membuka obrolan.
"Klien kamu? Siapa?" tanya Abi.
"Kalau aku tahu dia siapa aku nggak akan tanya kamu, heran deh punya klien kok misterius. Tandatangan kontrak kamu, kirim layout design ke email kamu, menunggu persetujuan dari kamu, bayar down payment kamu, jangan-jangan sebenernya rumah Menteng itu memang rumah kamu ya Bi? Huuhhaahhhh hahh..." Abi menyodorkan segelas teh manis hangat melihatku kepedesan.
"Makanya makan dulu sih, heran deh selalu saja pekerjaan yang jadi topik obrolan kamu. Kapan mau istirahatnya Ra?" lagi-lagi Abi mengomeliku.
"Makanya kasih tahu aku dong, siapa klien misterius itu kenapa juga harus melalui kamu hubungannya, kenapa nggak aku langsung yang kontek dia? Aku kenal nggak sih sama dia?" aku mulai bertanya-tanya.
"Hmm...kayaknya kamu nggak kenal sama dia Ra. Selama ini aku yang handle urusannya karena dia memang sahabat baik aku, dan katanya sih aku orang yang paling bisa dia percaya makanya dia serahin semuanya ke aku, dari mulai tandatangan kontrak sampai pembayaran. Tapi kamu tenang aja deh, semua email yang kamu kirim ke aku itu aku bicarakan ke dia kok. Jadi jangan takut design kamu nggak sesuai sama selera dia, pokoknya apa yang udah aku setujuin kemarin-kemarin, itu juga sudah atas persetujuan dia Ra." Abi menjelaskan panjang lebar.
"Oke, jadi Senin aku ke Menteng bisa langsung ketemu dia kan?"
"Nanti dia juga kesini kok, sebentar lagi sampai. Udah aku telepon orangnya tadi sebelum jemput kamu."
Aku berhenti bertanya-tanya dan fokus menghabiskan makanan di hadapanku. Sampai...

"Hai Bi sorry, udah daritadi ya?" sebuah suara yang baru beberapa hari lalu kudengar kini kudengar lagi.
"Hai Xel!! It's nice to see you bro." Abi merangkul sosok yang baru datang itu.

Aku terpana....

Axel Rahardjo

Kuhirup dalam-dalam aroma kota ini. Jakarta.
Berapa tahun aku tidak pulang? 5 tahun? 6 tahun? Sudah bertahun-tahun.
Hawa panasnya bahkan sudah mulai terasa padahal aku masih berada dalam bandara.

Semrawut kemacetan dalam rintiknya hujan segera menyambutku begitu taksi meluncur meninggalkan bandara, menuju pusat kota Jakarta. Tubuhku lelah setelah belasan jam berada dalam pesawat, namun otakku masih tidak bisa istirahat. Rasanya tidak percaya, kalau saat ini aku kembali menginjakkan kaki di negara ini, dikota kelahiran Papa. Dikota tempat Nara berada.

"Ah, Nara..seperti apa kamu sekarang?". Kenangan itu menyeruak bagai tak terbendung. Wajah Nara, senyum Nara, semua hal tentang Nara segera muncul secara acak bertubi-tubi tanpa mampu kuhentikan.

Dan sekarang, tanpa sadar aku sudah berdiri disini. KENANGA COFEESHOP, begitu bunyi tulisan pada papan kayu kecil yang tergantung didepan pintu. Dengan ragu, aku melangkah masuk.

Mataku langsung mencari-cari ke pojok kanan kafe, berharap menemukan sesuatu. Dan ya, ternyata aku beruntung hari ini, menemukanmu sedang duduk sendirian, berhadapan dengan 5 cangkir yang sepertinya sudah kosong. Dari depan pintu aku memperhatikanmu menyeruput tegukan terakhir dari cangkir didepanmu. "Hmm, its still early for too much coffee like that, Ra". Maka aku pun memanggil pelayan, dan memesankan satu cangkir teh aroma Vanilla dan tak lupa menuliskan secarik pesan sambil berbisik dalam hati "Semoga kamu masih suka, Ra".

Aku ragu untuk melangkah menghampirimu, namun kerinduan ini begitu membuncah. Melihatmu saat ini, ditempat ini, membuatku merasa waktu tiada pernah berputar. Ia berhenti. Tetap ada disini. Aku masih memandangimu dari jauh. Melihat ekspresimu yang terkejut ketika pelayan mengantarkan secangkir teh aroma Vanila. Dari sini, aku bisa melihatmu cukup jelas. Kamu tumbuh menjadi wanita muda yang cantik. Masih seketus dulu kah?

"Sorry Xel, aku ditunggu meeting kantor sebentar lagi. Selamat tinggal." Aku tersenyum kecil mendengar usaha susah payahmu untuk menghindari aku. Jelas-jelas aku melihat ekspresi kaget dan sikap grogimu. Tetap, dari dulu menggodamu akan selalu menjadi kesenangan tersendiri untukku. "Selamat tinggal? Hmm, yakin sekali kamu kalau kita tidak akan bertemu lagi?", aku tersenyum geli melihat kepergianmu. Nara...

Selepas kepergianmu, aku masih duduk sambil memandangi rintik hujan yang belum mau berhenti turun membasahi Jakarta. Pikiranku kembali melayang. Sambil menyeruput teh aroma Vanilla yang kupesan berbarengan dengan punyamu, aku mulai berpikir, mengingat kembali alasanku kembali ke Jakarta.

”We will expand our business to Indonesia, Xel...and I want you to in charge with the opening project there. You lived there for years, right? I’m sure you know about the market situation there. What do you think?”

Tawaran Jared bulan lalu tanpa pikir panjang langsung kuterima. Kembali ke Indonesia. Ke Jakarta.

Drrrttt…Drrrtttt….aku merasakan getaran ponsel disaku jeansku.

”Hallo”
”Hallo, Mr. Axel Rahardjo? This is Karina from the Ritz Carlton apartment. I would like to confirm about your departure. Is it today, Sir?”
“Ah…iya, saya sudah tiba di Jakarta. Mungkin 2 jam lagi saya sampai disana”, aku menjawab dengan bahasa Indonesia, bahasa Papa yang sudah bertahun-tahun tak kugunakan.
“Baiklah. Tolong kabari saya jika Anda sudah sampai. Kita bertemu dilobi ya, Pak Axel. Selamat Siang.”, suara ramah itu mengakhiri pembicaraan.
”Selamat siang. Terima kasih”.

Aku meninggalkan selembar uang seratus ribuan diatas meja, dan segera beranjak keluar. Taxiku masih menunggu didepan. Hmm, hidupku yang baru akan segera dimulai.

Kenalkan Aku Nara

Huruf-huruf ini semakin samar terlihat, satu bundel layout design yang entah sudah berapa kali dilihat tidak juga membuat otak kreatifku bekerja. Penat, pekerjaan ini sudah berhasil membuatku tidak tidur selama tiga hari. Mungkin memang sudah saatnya aku mengistirahatkan dahulu tubuhku untuk beberapa menit. Cangkir kopi yang kelima siang ini, sudah habis tak bersisa. Hmm... sepertinya aku perlu sesuatu yang menenangkan. Baru saja aku hendak mengangkat tanganku untuk memesan teh favoritku, seorang pelayan berperawakan kurus sudah datang menghampiriku membawa secangkir teh.

"Permisi Mbak, silakan dinikmati vanilla tea ini." tangannya mengangsurkan secangkir teh beraroma vanilla favoritku ke atas meja.
"Oh...terimakasih." jawabku dengan tersenyum, pelayan itu undur diri.

Hei...sejak kapan cafe ini mempekerjakan seorang pelayan yang bisa membaca pikiran? Sungguh efisien sekali, tanpa perlu bersusah payah memesan menu, si pelayan sudah langsung datang mengangsurkan menu yang diinginkan konsumen. Otakku masih terus berpikir sementara lidahku sudah terbuai dengan rasa vanilla dalam teh yang kuminum. Benar dugaanku, untuk sejenak perasaan tenang bisa kurasakan hanya karena efek teh vanila. Saat kukembalikan cangkir ke meja, barulah aku menyadari keberadaan secarik kertas yang menyertai teh tersebut.

"Selamat menikmati... semoga vanilla tea ini masih tetap jadi favorit kamu. Really nice to see you again after so many years we did not meet. :)"

Kunikmati lagi rasa teh vanila setelah meletakkan kertas tak bertuan. Mataku menatap rintik hujan melalui jendela cafe, telingaku nyaman mendengarkan suara air yang menenangkan. Dengan harapan melupakan sebersit pikiran mengenai siapa tuan baik hati yang memberikan secangkir teh favoritku.

"Cantik..." sebuah suara memecah lamunanku.
"Hujan memang selalu tampak cantik di mataku." jawabku dingin tanpa menoleh kepada pemilik suara.
"Hahahaha...kamu jauh lebih cantik daripada hujan di luar Ra. Long time no see, how are you Nara?" tanpa dipersilakan, dia pengirim teh yang baik hati sudah duduk manis di hadapanku.
Tuhan...senyumannya itu tidak berubah sedikit pun meskipun sudah bertahun-tahun kami tidak berjumpa.
Aku tersenyum dingin, "I am good and you also look good Axel." Tanganku mulai sibuk mengemasi semua barang-barangku. Memang sudah saatnya aku harus kembali ke kantor.
"Hei...kamu mau kemana Ra? Kita baru ketemu, masa kamu nggak kangen sih sama teman lama setelah bertahun-tahun nggak ketemu. Paling nggak, kita ngobrol dulu lah barang sepuluh dua puluh menit." Axel sepertinya paham kalau aku akan segera pergi dari cafe itu.
"Sorry Xel, aku ditunggu meeting kantor sebentar lagi. Selamat tinggal." Aku undur diri tanpa menunggu balasannya dan segera menuju kasir untuk membayar tagihanku.

Kenalkan aku perempuan biasa yang berusaha untuk tetap hidup setiap harinya dengan bekerja. Nara Azalia Beryl, Ayah dan Ibu melabeli diriku. Si makhluk introvert tapi bahagia dikelilingi orang yang menyayanginya, itulah diriku. Saat ini aku tinggal seorang diri di rumah mungil peninggalan orangtuaku, paling tidak satu tahun sekali aku sempatkan pulang ke Solo menemui orangtuaku. Aku anak bungsu dengan satu orang kakak yang cantik bernama Keisha, dia tinggal di Solo menemani Ibuku. Ayahku? Entahlah, aku sendiri tidak tahu dimana dia sekarang, masih hidup ataukah sudah mati, aku sudah tidak perduli, berusaha tidak perduli tepatnya. Aku bahagia dengan aku yang sendiri atau saat aku sedang bersama pekerjaanku. Abi yang selalu menjadi penghiburanku kapan pun aku butuh seorang manusia untuk menyadarkanku kalau aku masih masuk jenis makhluk sosial.

Sedikit perkenalan mengenai siapa aku, aku akan bercerita lebih banyak mengenai diriku nanti. Sekarang aku harus menyetir dulu sebelum asistenku meneror dengan telepon-telepon horor hanya untuk mengingatkan mengenai meeting schedule.