Wednesday, April 20, 2011
The First Reaction
Untunglah sepersekian detik sebelum pukulan itu mendarat ke ulu hatiku, aku menyadari tarikan napas Abi dan perubahan raut wajahnya yang memberitahuku bahwa aku akan mendapatkan rasa sakit yang cukup dahsyat.
"Uhuk," aku terbatuk saat menerima pukulan Abi. Tentunya reaksi tubuh selanjutnya adalah normal mengingat persiapanku menerima pukulan tersebut hanyalah menahan napas dan mengeraskan otot perut. Dunia langsung mematikan lampu di tengah hari bolong.
Saat aku tersadar, Abi tak terlihat di sekitarku. Aku terbangun di ruang kesehatan bandara. Perawat yang sedang berada di situ pun menyapaku, "Bapak Axel?"
"Iya, Mbak. Betul saya Axel," jawabku.
"Syukurlah Anda sudah siuman. Orang yang tadi memukul Anda tampak terlatih sekali langsung mengincar ulu hati. Ajaib juga Anda tidak mengalami luka dalam."
"Oh, yah... mungkin saya memang beruntung, Mbak." sahutku singkat. Aku tidak mau membeberkan lebih banyak detail pribadi kalau memang tidak ada luka serius. Aku langsung menegakkan badanku, yang rupanya adalah suatu kesalahan.
"Pak Axel, sebaiknya jangan memaksakan diri," sahut si perawat.
"Tak apa-apa, Mbak. Mungkin karena capek saja. Saya bisa langsung pulang kan?" tanyaku padanya.
"Tadi dokter jaga memang berkata bapak boleh langsung pulang. Saya heran bapak terpukul begitu keras tapi tak mengalami luka serius," cerocos si perawat lagi.
"Anggap saja hari ini hari keberuntungan saya," sahutku seadanya sembari melangkah pergi ke mobilku yang terparkir di areal parkir menginap.
Tiga jam setelah itu, aku menunggu Abi di gym apartemenku. Aku kali ini siap. Jika Abi masih mengamuk, aku siap menghadapinya. Jika dia ingin mendengarkan penjelasanku, aku pun sudah siap membeberkan fakta yang baru saja kuketahui kemarin.
"Berabe deh nih." adalah isi pikiranku saat aku melihat Abi datang mengenakan celana pendek dan taping di kedua tangan dan tulang keringnya. Abi melihatku dengan mata penuh amarah.
"Bi..." Dia tak hiraukan sapaanku. Badanku pun langsung menegang. Tadi sementara menunggunya aku sempat berlari di treadmill, aku hanya bisa berharap pemanasan itu cukup untuk menghadapi Abi. Aku menyesali kenyataan bahwa kesiapanku lebih ke arah mental daripada fisik.
"Abi..." Aku mencoba kembali, "Listen me out, will you?"
"I'll listen," akhirnya dia menyahut. "After I beat your despicable ass up!" teriaknya sambil berlari ke arahku. Aku langsung menaikkan tanganku sebagai guard dan memastikan kakiku tak terpatri ke lantai karena ketegangan.
Serangan pertamanya menunjukkan dia tak berkarat. Orang-orang kebanyakan akan masuk dengan flying kick, yang akan bisa ku-sidestep dengan mudah dan kemudian kuberikan serangan apa saja yang terlintas dalam pikiran. Serangan pertamanya adalah sebuah front kick kiri yang terus terang menghambatku untuk memberikan respons apapun selain sidestep ke kanan. Kepalan tangan kanannya langsung menyambutku saat kaki kirinya menjejak tanah. Terpaksa aku mengorbankan tangan kiriku dan melepaskan pukulan kananku ke dagunya.
Setelah tiga serangan awal itu, semua hal yang kami lakukan setelah itu seperti bercampur baur. Aku memberinya beberapa bilur dan memar, dia memberiku hal yang sama. Aku berhasil menggores pelipis kanannya, dia robek pelipis kiriku dengan sikutnya. Setelah 15 menit perkelahian berlangsung, akhirnya kami pun mulai berkata-kata.
"Why did you do it?" tanyanya dengan bibir penuh darah, "Kenapa lo sampai tega menodai Nara, Xel?"
"Apa lo percaya kalo gue bilang gue ga ngapa-apain Nara?"
"Jangan anggap gue idiot, Xel! Zilli sudah mau 6 tahun."
"Tenang dulu dan dengar gue, Bi. Gue aja ga percaya waktu denger pertama kali."
Setelah ceritaku selesai, Abi dan diriku membersihkan diri di bathroom gym. Again, thank God for the hot water. Aku suruh Abi untuk menginap di sini malam ini. Baru pernah kulihat Abi seperti ini. Kalut, marah, eksplosif, dan akhirnya... submisif di hari yang sama. Mungkin dia kaget mendengar kegilaan Nara, aku pun masih merasa kaget. Mungkin kami sekarang mengalami syok yang tertunda. Komunikasi kami setelah pembicaraan itu hanyalah sebatas temu pandang, anggukan dan sesekali, senyuman getir. Senyuman getir Abi karena perasaan bingung, sakit terkhianati dan overwhelmed. Senyuman getirku karena kenyataan bahwa pilihanku 6 tahun terdahulu adalah bukan yang terbaik bagi Nara.
"Talk to you in the morning," kataku pada Abi sebelum kumenutup mata. Oh Tuhan, hari ini melelahkan sekali.
Friday, April 15, 2011
And the emotion take a part
".... Akan bilang apa kamu kalau ternyata Axel ayah kandung Zilli?! Sahabat kamu yang bertanggungjawab itu bisa ceroboh juga, bisa apa kamu?!"
Kejutan?!
Okay, I'm really confused now. Tadi aku sudah mencoba untuk menekan amarahku terhadap Jason dan menikmati kehadiran Abi, Nara, ibu mereka dan bahkan Zilli. Namun percakapan singkat dengan Nara sebelum kami berpisah mengubah amarahku menjadi kebingungan yang sangat. And when I say confused, I mean REALLY CONFUSED. Sebelumnya, rencanaku setelah ini amatlah jelas. Tadi setelah selesai makan siang, aku berpura-pura ke toilet. Padahal aku memesan last minute ticket ke Hong Kong, dengan rencana untuk menyambangi Jason dan mengkonfrontasi dia soal Zilli. Tapi sekarang... aku benar-benar bingung tentang apa yang akan aku lakukan.
Aku tersadarkan dari pikiranku saat panggilan boarding pesawatku terdengar. Iya, dengan pikiran yang kalut aku tetap memutuskan untuk berangkat ke Macau malam ini juga. Tergantung apa yang terjadi di sana, mungkin aku akan pulang besok atau lusa. Bagaimanapun juga, Jason adalah satu-satunya petunjuk yang aku punya untuk mengungkap siapa ayah Zilli. Pada saat-saat seperti inilah aku berterimakasih kepada Tuhan karena aku telah diberikan berkah yang melimpah untuk dapat memuaskan ego dan rasa ingin tahuku.
"Thank God for the Internet!" seruku dalam hati. Tanpa kehadiran WiFi di Bandara Soekarno Hatta, aku tidak akan bisa menghubungi Jason dan mendapatkan alamatnya.
So, a flight, a speed boat trip and a taxi ride later... here I am: Lily Court Apartment - Ocean Garden - Taipa Island. Aku melihat kiri-kanan dan mengagumi lingkungan sekitar. Tempat ini sangat family-friendly, sama sekali tidak mencerminkan kepribadian Jason. Seraya menekan tombol no 17, aku merenungkan perubahan Jason sejak dia mengenal tunangannya itu. Berita pertunangannya dengan Ling memang menjadi topik pembicaraan heboh di keluarga besar Raharjo.
"Akhirnya Jason bisa juga jadi pria yang lebih dewasa dan bertanggung jawab." kata Eyang Uti lega saat mendengar beritanya.
"What brings you here?" adalah ucapan pertamanya saat membuka pintu. Satu tabiat Jason yang straight-forward ini tampaknya tak akan pernah hilang. Terdengar suara Ling menimpali, "Jason, Honey, is that how you treat your dear cousin?"
"Ling, how's your study?" kataku pada wanita berperawakan kecil itu saat dia menampakkan wujudnya sembari mencubit Jason.
"You wouldn't believe how anal those professors can be." komentar pedasnya atas para professor di University of Macau.
“I’ll take your word for it.” sahutku lagi.
Setelah beberapa lama bersenda gurau dan mengejar cerita tentang rencana pernikahan mereka, Ling pun meninggalkan Jason dan aku berdua, “I’m off to bed. You boys just talk about what it is that you need to. See you in the morning.”
“So? What brings you here?” tanya Jason sekali lagi kepadaku dengan wajah serius yang terus terang saja asing bagiku.
“Well, Zilli.”
“What about him?” tanyanya dingin.
“Oke, gue ga bakalan nuduh lo yang enggak-enggak. Nara udah bilang dengan jelas bahwa lo bukan bokapnya. Tapi lo satu-satunya clue yang gue punya soal Zilli.”
“Buat apa sih tanya-tanya soal Zilli?”
“He’s Nara’s son, Man.”
“Gue juga tau itu, Xel.”
“Ya masa mesti gue terangin lagi ke lo bahwa gue itu ga bisa lepas dari Nara?”
“Oke, terus kenapa kalo lo ga bisa lepas dari Nara?”
“Jason, if you ask me one more silly question, I swear I’ll whack that oversized head of yours.” hardikku kepadanya.
"Axel, Cousin... chill...” kata Jason seraya menuangkan kopi yang tadi dibuatkan oleh Ling ke cangkirnya dan cangkirku. “Sit down and I’ll tell you the whole story.”
Aku pun duduk di hadapannya dan menatapnya lekat-lekat.
“Inget waktu terakhir gue ngajak lo gila-gilaan di Jakarta?"
"How can I forget? Kita gila-gilaan pake modal hasil double dare lo ke gue. That was my worst hangover ever."
"Hahaha, good then. You're not following my footsteps.”
“Oke, hubungan gila-gilaan waktu itu sama Nara?”
“Lo masih inget apa yang lo lakuin buat dapet tu duit?”
“It was my one and only time that I went to a sperm bank. What do you think?”
“Well, you know what?"
"Apa?" sambarku tak sabar.
"Gue dan Nara waktu itu di Spore juga drunk gila-gilaan dan beli sperma lo dari itu bank. Man, it cost me a fortune. Ternyata transfer satu vial kecil berisi protein beku bisa banget ngabisin gaji gue sebulan. Kampret." Sampai titik ini, dahiku sudah mulai menitikkan keringat dingin mengambil sebuah kesimpulan yang tampaknya amat absurd.
“Besoknya kita ambil dan langsung inseminasi buatan di klinik temen gue yang dokter kandungan.”
"Lo jangan bilang..." kataku untuk meminta konfirmasi terakhir.
"Iya. Zilli is yours." sahutnya dengan nada tenang dan wajah yang tersenyum puas.
Aku terdiam dan terhenyak.
“Glad I could get that out of my chest. See you in the morning.” Katanya lagi sambil beranjak ke kamar tidur.
Thursday, April 14, 2011
His Curiosity
Wednesday, April 13, 2011
Lightning Strike in the Middle of the Day
Nara sekarang adalah seorang orangtua tunggal dengan anak lelaki lucu yang berumur 6 tahun dan Abi sahabat kuliahku itu amat menaruh hati kepadanya. Apa yang bisa aku perbuat sekarang? Meskipun aku masih menginginkan Nara, dapatkah aku menembus kegetiran Nara? Bilapun itu terjadi, sanggupkah aku melangkahi Abi yang selama ini telah menjaga Nara dengan baik? Bahkan mungkin lebih baik dari yang pernah aku lakukan bertahun-tahun yang lalu?
Mungkin keputusanku 6 tahun lalu adalah kesalahan terbesarku. Aku lebih mementingkan egoku daripada membeberkan semua kekhawatiranku kepada Nara. Saat itu aku benar-benar merasa aku tidak pantas untuk meminta Nara untuk menungguku selama setidaknya 4 tahun aku di New York. Long distance relationship hanya akan membebani aku dan dia dalam menjalani hidup. Lagipula, siapalah aku ini 4 tahun yang lalu? Seorang mahasiswa nerdy yang menumpang hidup kepada orangtuanya. Secara prinsip, aku merasa bahwa jika aku belum dapat berdiri dengan kakiku sendiri, aku tidak pantas meminta tangan seorang wanita, terlebih lagi wanita itu Nara. Bahkan saat aku pergi pun aku sebenarnya meminta sepupuku Jason untuk mengawasi Nara...
Tiba-tiba aku terhenyak dan merasa bagaikan tersambar petir! Apakah mungkin? Is it possible that Jason... Jason... sepupuku satu itu memang aku tahu bahwa dia pemangsa wanita, tapi mungkinkah dia me... tidak, tidak mungkin... tapi mata Zilli mengingatkanku pada Jason...
Aku coba untuk mengenyahkan pikiran buruk itu tapi sekelumit fakta yang kumiliki tetap menggiringku untuk menyimpulkan satu hal mengerikan...
Jason, sepupuku yang seharusnya mengawasi Nara malah mengambil kesempatan saat Nara goyah dan entah bagaimana mengambil kesempatan sempit itu.
Aku bukan pria naif yang akan menyangkal bahwa Nara secara fisik dari dahulu memang sangat menarik. Aku tidak buta. Aku tahu Nara punya banyak pengagum dari jaman dia SMA, kuliah, bahkan sampai waktu aku dan dia bersamapun masih banyak lelaki yang mencoba mendapatkannya.
Selama 10 atau 15 menit pertama pada saat makan siang itu, benakku dipenuhi berbagai macam pikiran. Aku hanya tersenyum dan mengangguk secara otomatis.
"Om Axel, ko malah ngelamun sih Om?" tanya Zilli.
"Ga ko, Om lagi mikirin urusan kerjaan aja." kilahku kepadanya.
"Tante ini enak sekali ya masakannya." sahutku seadanya seraya berpikir di dalam hati, "Zilli, kamu mungkin keponakan jauhku. Meskipun keberadaanmu mempersulit keadaan, aku akan mencari tau soal ayahmu. Jika benar Jason adalah ayahmu, aku akan buat perhitungan dengannya." Dan aku kemudian aku hentikan otakku dan mulai menikmati apa yang kumiliki hari ini: hidangan Indonesia yang sedap, teman-temanku dan keluarganya. Senyumku pun mulai mengembang karena tingkah laku Zilli di meja makan.
Obrolan Dua Sahabat
Siapa Zilli?
Our First Morning Together Again
Sembari kakiku menginjak pedal gas dan tanganku mengoreksi gerakan roda kemudi, aku terhanyut memikirkan kejadian kemarin malam...
Aku tak menyangka akan bertemu Nara kembali di minggu yang sama. Rupanya dialah interior designer yang direkomendasikan Abi untuk menangani kantor NINE. Aku tidak tahu sejarah macam apa yang dia miliki dengan Nara. Mereka tampak sangat dekat. Jujur saja, aku merasa agak terganggu dengan hubungan mereka. Apakah mereka pasangan kekasih? Atau teman baik? Suatu saat nanti aku harus bertanya kepada Abi.
Si Cantik tampak cukup terkejut saat menyadari bahwa kita terikat kontrak kerja. Terkejut dan ketus. Untungnya masih ada Abi dan Alena yang memaksanya tidak go-all-out dengan sikap ketusnya terhadapku itu. Sepanjang makan malam yang singkat itu, hanya sedikit hal yang bisa aku usahakan. Aku bahkan sempat sedikit terkejut saat mendengar si Cantik tengah mengandung.
"Silakan lho kalian mau pesan apa, sorry banget nih kita udah makan duluan. Maklum nona satu ini lagi hamil janin monster, bawaannya lapar melulu." Abi mengagetkanku dengan ucapannya.Untungnya hal tersebut hanya gurauan Abi saja. Dengan keadaan yang kurang mendukung, aku berhasil membuat Nara untuk bertemu kembali denganku hari ini. Dan di saat yang sama, membebaskan diri dari keperluan untuk mempelajari kembali legalitas perusahaan yang aku yakin akan benar-benar memusingkan untuk dihadapi. Semoga aku bisa membuat Nara sedikit melunak pada hari ini.
Agar tujuan itu tercapai, Kenanga adalah tujuan pertamaku di hari ini. Vanilla tea adalah senjata pertamaku.
Sesampainya aku di NINE, aku merasa lega. Aku yang pertama datang, mobil Nara tak terlihat di parkiran. Jadi akupun menunggu kedatangannya sambil menyeruput vanilla tea milikku.
Eh? Bukankah itu mobil Abi? Mengapa Abi lagi yang mengantarkan Nara? Banyak pertanyaan dan asumsi yang berkeliaran di benakku tapi kuhiraukan semuanya.
"Sampai juga akhirnya Ra."
"Sorry..belum terlambat dari waktu yang ditetapkan tapinya kan?!" sahutnya ketus. Langsung kusodorkan senjata pertamaku padanya.
"Aku baru sampai juga kok, tadi sempetin ke Kenanga dulu buat beli ini."
Tampaknya senjata pertamaku terbuang percuma. Selain pembicaraan bisnis, Nara bahkan ber-gue-lo denganku. Setelah kutanyakan padanya, dia malah menggunakan saya-Anda. Tampaknya dia benar-benar memelihara dendamnya atas kepergianku 6 tahun yang lalu.
"Ra, tunggu." sahutku saat dia beranjak pergi.
"Ada apa lagi, Pak Axel?" jawabnya dingin.
"Kamu ada janji sama siapa?"
"Urusan pribadi saya adalah privasi saya."
"Oke, maaf jika kamu merasa aku terlalu privy. Tapi aku harus tahu, apakah janjimu itu dengan Tante Maya? Karena akupun sekarang akan ke rumah Tante Maya."
"Kamu mengenal Bunda?" jawabnya dengan agak terbata.
"Aku kan bareng sama Abi dari awal kuliah. Masa iya aku tidak mengenal Tante Maya?" jawabku lagi. "Kalau gitu kita langsung aja yah ke rumah Tante Maya." kataku seraya membukakan pintu mobilku.
"Kalau kamu menyangka aku akan menyerah semudah itu, kamu salah, Nara." kataku dalam hati saat kami berangkat menuju rumah Tante Maya.