Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Wednesday, April 20, 2011

The First Reaction

Terakhir aku bertemu dengan tinju sahabatku itu adalah sewaktu kami sparring Muaythai di kampus sekitar 3 tahun lalu. Aku tidak perlu jelaskan betapa kerasnya pukulan tersebut. Dengan Muaythai sebagai pondasi, pukulannya cukup mampu untuk mengirimkan orang ke rumah sakit terdekat.

Untunglah sepersekian detik sebelum pukulan itu mendarat ke ulu hatiku, aku menyadari tarikan napas Abi dan perubahan raut wajahnya yang memberitahuku bahwa aku akan mendapatkan rasa sakit yang cukup dahsyat.
"Uhuk," aku terbatuk saat menerima pukulan Abi. Tentunya reaksi tubuh selanjutnya adalah normal mengingat persiapanku menerima pukulan tersebut hanyalah menahan napas dan mengeraskan otot perut. Dunia langsung mematikan lampu di tengah hari bolong.

Saat aku tersadar, Abi tak terlihat di sekitarku. Aku terbangun di ruang kesehatan bandara. Perawat yang sedang berada di situ pun menyapaku, "Bapak Axel?"
"Iya, Mbak. Betul saya Axel,"
jawabku.
"Syukurlah Anda sudah siuman. Orang yang tadi memukul Anda tampak terlatih sekali langsung mengincar ulu hati. Ajaib juga Anda tidak mengalami luka dalam."
"Oh, yah... mungkin saya memang beruntung, Mbak."
sahutku singkat. Aku tidak mau membeberkan lebih banyak detail pribadi kalau memang tidak ada luka serius. Aku langsung menegakkan badanku, yang rupanya adalah suatu kesalahan.
"Pak Axel, sebaiknya jangan memaksakan diri," sahut si perawat.
"Tak apa-apa, Mbak. Mungkin karena capek saja. Saya bisa langsung pulang kan?" tanyaku padanya.
"Tadi dokter jaga memang berkata bapak boleh langsung pulang. Saya heran bapak terpukul begitu keras tapi tak mengalami luka serius," cerocos si perawat lagi.
"Anggap saja hari ini hari keberuntungan saya,"
sahutku seadanya sembari melangkah pergi ke mobilku yang terparkir di areal parkir menginap.

Tiga jam setelah itu, aku menunggu Abi di gym apartemenku. Aku kali ini siap. Jika Abi masih mengamuk, aku siap menghadapinya. Jika dia ingin mendengarkan penjelasanku, aku pun sudah siap membeberkan fakta yang baru saja kuketahui kemarin.

"Berabe deh nih." adalah isi pikiranku saat aku melihat Abi datang mengenakan celana pendek dan taping di kedua tangan dan tulang keringnya. Abi melihatku dengan mata penuh amarah.
"Bi..." Dia tak hiraukan sapaanku. Badanku pun langsung menegang. Tadi sementara menunggunya aku sempat berlari di treadmill, aku hanya bisa berharap pemanasan itu cukup untuk menghadapi Abi. Aku menyesali kenyataan bahwa kesiapanku lebih ke arah mental daripada fisik.
"Abi..." Aku mencoba kembali, "Listen me out, will you?"
"I'll listen," akhirnya dia menyahut. "After I beat your despicable ass up!" teriaknya sambil berlari ke arahku. Aku langsung menaikkan tanganku sebagai guard dan memastikan kakiku tak terpatri ke lantai karena ketegangan.

Serangan pertamanya menunjukkan dia tak berkarat. Orang-orang kebanyakan akan masuk dengan flying kick, yang akan bisa ku-sidestep dengan mudah dan kemudian kuberikan serangan apa saja yang terlintas dalam pikiran. Serangan pertamanya adalah sebuah front kick kiri yang terus terang menghambatku untuk memberikan respons apapun selain sidestep ke kanan. Kepalan tangan kanannya langsung menyambutku saat kaki kirinya menjejak tanah. Terpaksa aku mengorbankan tangan kiriku dan melepaskan pukulan kananku ke dagunya.

Setelah tiga serangan awal itu, semua hal yang kami lakukan setelah itu seperti bercampur baur. Aku memberinya beberapa bilur dan memar, dia memberiku hal yang sama. Aku berhasil menggores pelipis kanannya, dia robek pelipis kiriku dengan sikutnya. Setelah 15 menit perkelahian berlangsung, akhirnya kami pun mulai berkata-kata.

"Why did you do it?" tanyanya dengan bibir penuh darah, "Kenapa lo sampai tega menodai Nara, Xel?"
"Apa lo percaya kalo gue bilang gue ga ngapa-apain Nara?"
"Jangan anggap gue idiot, Xel! Zilli sudah mau 6 tahun."
"Tenang dulu dan dengar gue, Bi. Gue aja ga percaya waktu denger pertama kali."

Setelah ceritaku selesai, Abi dan diriku membersihkan diri di bathroom gym. Again, thank God for the hot water. Aku suruh Abi untuk menginap di sini malam ini. Baru pernah kulihat Abi seperti ini. Kalut, marah, eksplosif, dan akhirnya... submisif di hari yang sama. Mungkin dia kaget mendengar kegilaan Nara, aku pun masih merasa kaget. Mungkin kami sekarang mengalami syok yang tertunda. Komunikasi kami setelah pembicaraan itu hanyalah sebatas temu pandang, anggukan dan sesekali, senyuman getir. Senyuman getir Abi karena perasaan bingung, sakit terkhianati dan overwhelmed. Senyuman getirku karena kenyataan bahwa pilihanku 6 tahun terdahulu adalah bukan yang terbaik bagi Nara.

"Talk to you in the morning," kataku pada Abi sebelum kumenutup mata. Oh Tuhan, hari ini melelahkan sekali.

Friday, April 15, 2011

And the emotion take a part

"Ra...Nara..." guncangan pelan di bahuku membangunkanku. Wajah Abi yang pertama tertangkap oleh mataku, "Udah sampai, Zillian udah aku gendong tadi ke kamarnya. Kamu mau terusin tidur di mobil? Mau aku temenin?" seringai jahil muncul di bibirnya.

Aku pun langsung bangun dan keluar mobil, "Sorry Bi, kamu jadi repot anter aku sama Zilli begini." dengan tulus aku meminta maaf.

"Kayak sama siapa aja deh kamu Ra, pakai sungkan begitu. Santai aja deh. Eh..besok ajak Zilli berenang yuk, ke PI aja gimana?" Abi mensejajarkan langkahnya denganku.

"Jangan deh, Senin dia udah masuk sekolah. Kecapekan nanti, kasihan." tolakku.

Abi duduk di ruang tengah, memperhatikanku membuat secangkir teh. Tak lama kusodorkan teh manis hangat padanya, sementara kutinggalkan untuk berganti pakaian yang lebih nyaman. Saat kukembali tampak dia sedang asik berkutat dengan netbook milikku.

"Ra, bakal kebangun tengah malam nih kayaknya Zilli. Pules banget tidurnya barusan aku lihat." tukas Abi tanpa menoleh.

"Hu uh... biar aja, udah kenyang toh dia. Nanti kalau terbangun, paling cuma minta susu aja, terus tidur lagi. Kecapekan banget sih dia kelihatannya. Keasikan main sama kamu tadi."

"Sama Axel juga Ra." sambung Abi, aku hanya diam.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, ketika Abi menyusulku duduk di teras samping. Dari sudut mata, aku sadar dia memperhatikanku, tapi tetap saja kehadirannya tak kugubris. Aku masih saja sok sibuk membaca laporan dari kantor. Entah firasatku saja, atau dia memang ingin membahas topik yang aku hindari.

"Kamu aneh setiap ketemu Axel. Axel juga sejak kenalan sama Zilli ekspresinya berubah, tak terbaca. Ada apa sih Ra?" Abi menggenggam tanganku. Aku hanya diam dan memijat pelipisku yang seringkali sakit setiap kali topik mengenai Axel muncul.

"Ibu juga tadi tanya banyak soal Axel ke aku, sempat banding-bandingin sama Zilli juga. Axel juga, tanya detail banget mengenai Zilli. Sorry Ra... mungkin nggak sih firasatku benar? Axel, kamu, Zilli, kalian punya sejarah yang kami semua nggak tahu?" lagi Abi bertanya.

Keterkejutanku tertangkap olehnya, tapi lagi-lagi aku hanya terdiam tak bisa menyanggah ataupun mengiyakan.

"Sorry...sorry..." Abi mengubah nada suaranya, " Aku nggak nuduh Axel itu Ayah biologis Zilli, mungkin Axel kebetulan kenal sama Ayahnya Zilli. Nggak mungkin banget aku nuduh Axel yang jadi Ayahnya Zilli, aku sangat kenal dia, pribadi yang sangat bertanggungjawab sahabat aku yang satu itu." sambung Abi kemudian.

Kali ini tanpa sadar emosiku meledak, "Kenapa sih, ada apa sama kalian semua?! Nggak Ibu, nggak kamu, bahkan Axel yang baru muncul lagi mendadak bahas-bahas soal Ayah biologis Zilli! Kita udah sepakat ya Bi, aku udah pernah bilang, jangan pernah ungkit masalah ini lagi! Terus apa maksud kamu tadi?! Axel laki-laki bertanggungjawab?! Maksud kamu aku gitu di sini yang naas dapet peran perempuan binalnya?! Nggak usah sok tahu Bi! Kamu nggak mengenal Axel sebaik yang kamu kira! Akan bilang apa kamu kalau ternyata Axel ayah kandung Zilli?! Sahabat kamu yang bertanggungjawab itu bisa ceroboh juga, bisa apa kamu?!" tanpa sadar aku mengucapkan hal yang tidak seharusnya. Kemarahan menguasai logikaku, tak sempat berpikir, semua sampah yang menyesakkan akhirnya termuntahkan tanpa rencana.

Abi diam, sorot mata itu nggak salah lagi, sorot terluka tampak jelas dimatanya. Aku menjauh, menutup wajahku, mencoba bernafas perlahan.

"Kamu nggak salah ucap kan Ra? Aku nggak salah dengar kan? Jangan bercanda Ra, aku serius." setelah saling diam beberapa saat, Abi akhirnya menemukan kembali kesadarannya dan mulai membuka suara.

Aku melangkah ke dalam rumah dan mengambil kunci mobil Abi. Kuletakkan kunci itu di tangannya. "Pulang Bi... aku perlu waktu sendiri." Abi tampak ingin menolak, "Please..." dengan suara pelan aku memohon padanya.

Tanpa basa basi ABi melangkah gontai menuju pintu depan. Tak lama kudengar suara mesin halus dihidupkan, semakin lama semakin tak terdengar suaranya. Abi pergi dan aku masih terduduk di teras dengan sesak yang semakin menghimpit.

"Tuhan...enam tahun lalu dia pergi, enam tahun lalu aku sudah membulatkan tekad tidak pernah akan ada 'KAMI' lagi, enam tahun lalu aku menguatkan diri dengan hanya 'aku' dan 'dia'. Enam tahun sudah hidupku normal, berusaha untuk tetap normal tepatnya. Tapi ada apa sekarang? Masihkah Kau murka karena kecerobohanku dulu? Tapi kenapa baru sekarang hukuman-Mu datang, setelah enam tahun? Dan mengapa harus dengan kemunculannya? Haruskah kuteruskan kembali cerita 'aku' dan 'dia' yang tidak pernah final? Tidak bisakah Kau cukupkan kebahagiaanku hanya dengan Zilli? Menyudahi cerita tak berkesudahan ini." hatiku menangis.

".... Akan bilang apa kamu kalau ternyata Axel ayah kandung Zilli?! Sahabat kamu yang bertanggungjawab itu bisa ceroboh juga, bisa apa kamu?!"
Masih terngiang jelas ucapan Nara tadi, dengan kemarahan yang melingkupinya, dia tak sadar sudah membuka rahasia besar sejarah hidupnya.

"Gila! Jadi Axel orangnya, sahabat terbaik gue! Damn!" rutukku.

Kupinggirkan mobil, menyetir dalam keadaan emosi banyak yang celaka. Aku belum punya rencana mati muda dengan beban penasaran begini.

Dengan ingatan yang terbatas, aku coba merunut kejadian enam tahun lalu. "Axel berangkat ke NY, Nara balik dari Sing sebulan kemudian. Begitu sampai, besoknya dia kasih kabar kalau dia hamil, sembilan bulan kemudian Zilli lahir. Hmmm... harusnya memang di Sing kejadiannya. Apa mereka sempat ketemu di Sing? Sial si Axel, bisa-bisanya hamilin anak orang terus kabur begitu aja." gumamku.

Kutekan nomor kontek Axel, " nomor yang anda tuju berada di luar jangkauan." terdengar suara mesin perekam di seberang sana.

"Shit! Jangan sampai lo kabur lagi Xel!" umpatku. Kuhidupkan kembali mesin mobil, entah kemana akan kukemudikan mobil ini.

Kejutan?!

Okay, I'm really confused now. Tadi aku sudah mencoba untuk menekan amarahku terhadap Jason dan menikmati kehadiran Abi, Nara, ibu mereka dan bahkan Zilli. Namun percakapan singkat dengan Nara sebelum kami berpisah mengubah amarahku menjadi kebingungan yang sangat. And when I say confused, I mean REALLY CONFUSED. Sebelumnya, rencanaku setelah ini amatlah jelas. Tadi setelah selesai makan siang, aku berpura-pura ke toilet. Padahal aku memesan last minute ticket ke Hong Kong, dengan rencana untuk menyambangi Jason dan mengkonfrontasi dia soal Zilli. Tapi sekarang... aku benar-benar bingung tentang apa yang akan aku lakukan.


Aku tersadarkan dari pikiranku saat panggilan boarding pesawatku terdengar. Iya, dengan pikiran yang kalut aku tetap memutuskan untuk berangkat ke Macau malam ini juga. Tergantung apa yang terjadi di sana, mungkin aku akan pulang besok atau lusa. Bagaimanapun juga, Jason adalah satu-satunya petunjuk yang aku punya untuk mengungkap siapa ayah Zilli. Pada saat-saat seperti inilah aku berterimakasih kepada Tuhan karena aku telah diberikan berkah yang melimpah untuk dapat memuaskan ego dan rasa ingin tahuku.

"Thank God for the Internet!" seruku dalam hati. Tanpa kehadiran WiFi di Bandara Soekarno Hatta, aku tidak akan bisa menghubungi Jason dan mendapatkan alamatnya.


So, a flight, a speed boat trip and a taxi ride later... here I am: Lily Court Apartment - Ocean Garden - Taipa Island. Aku melihat kiri-kanan dan mengagumi lingkungan sekitar. Tempat ini sangat family-friendly, sama sekali tidak mencerminkan kepribadian Jason. Seraya menekan tombol no 17, aku merenungkan perubahan Jason sejak dia mengenal tunangannya itu. Berita pertunangannya dengan Ling memang menjadi topik pembicaraan heboh di keluarga besar Raharjo.

"Akhirnya Jason bisa juga jadi pria yang lebih dewasa dan bertanggung jawab." kata Eyang Uti lega saat mendengar beritanya.


"What brings you here?" adalah ucapan pertamanya saat membuka pintu. Satu tabiat Jason yang straight-forward ini tampaknya tak akan pernah hilang. Terdengar suara Ling menimpali, "Jason, Honey, is that how you treat your dear cousin?"

"Ling, how's your study?" kataku pada wanita berperawakan kecil itu saat dia menampakkan wujudnya sembari mencubit Jason.

"You wouldn't believe how anal those professors can be." komentar pedasnya atas para professor di University of Macau.

“I’ll take your word for it.” sahutku lagi.


Setelah beberapa lama bersenda gurau dan mengejar cerita tentang rencana pernikahan mereka, Ling pun meninggalkan Jason dan aku berdua, “I’m off to bed. You boys just talk about what it is that you need to. See you in the morning.”

“So? What brings you here?” tanya Jason sekali lagi kepadaku dengan wajah serius yang terus terang saja asing bagiku.

“Well, Zilli.”

“What about him?” tanyanya dingin.

“Oke, gue ga bakalan nuduh lo yang enggak-enggak. Nara udah bilang dengan jelas bahwa lo bukan bokapnya. Tapi lo satu-satunya clue yang gue punya soal Zilli.”

“Buat apa sih tanya-tanya soal Zilli?”

“He’s Nara’s son, Man.”

“Gue juga tau itu, Xel.”

“Ya masa mesti gue terangin lagi ke lo bahwa gue itu ga bisa lepas dari Nara?”

“Oke, terus kenapa kalo lo ga bisa lepas dari Nara?”

“Jason, if you ask me one more silly question, I swear I’ll whack that oversized head of yours.” hardikku kepadanya.

"Axel, Cousin... chill...” kata Jason seraya menuangkan kopi yang tadi dibuatkan oleh Ling ke cangkirnya dan cangkirku. “Sit down and I’ll tell you the whole story.”

Aku pun duduk di hadapannya dan menatapnya lekat-lekat.

“Inget waktu terakhir gue ngajak lo gila-gilaan di Jakarta?"

"How can I forget? Kita gila-gilaan pake modal hasil double dare lo ke gue. That was my worst hangover ever."

"Hahaha, good then. You're not following my footsteps.”

“Oke, hubungan gila-gilaan waktu itu sama Nara?”

“Lo masih inget apa yang lo lakuin buat dapet tu duit?”

“It was my one and only time that I went to a sperm bank. What do you think?”

“Well, you know what?"

"Apa?" sambarku tak sabar.

"Gue dan Nara waktu itu di Spore juga drunk gila-gilaan dan beli sperma lo dari itu bank. Man, it cost me a fortune. Ternyata transfer satu vial kecil berisi protein beku bisa banget ngabisin gaji gue sebulan. Kampret." Sampai titik ini, dahiku sudah mulai menitikkan keringat dingin mengambil sebuah kesimpulan yang tampaknya amat absurd.

“Besoknya kita ambil dan langsung inseminasi buatan di klinik temen gue yang dokter kandungan.”

"Lo jangan bilang..." kataku untuk meminta konfirmasi terakhir.

"Iya. Zilli is yours." sahutnya dengan nada tenang dan wajah yang tersenyum puas.

Aku terdiam dan terhenyak.

“Glad I could get that out of my chest. See you in the morning.” Katanya lagi sambil beranjak ke kamar tidur.

Thursday, April 14, 2011

His Curiosity

Masih lekat sekali dalam ingatanku, tatapan kaget Axel saat dikenalkan dengan Zilli tadi. Sikapnya yang tampak wajar, dibuat tampak wajar tepatnya, tetap terlihat canggung di mataku. Entah kenapa lagi-lagi aku merasakan tekanan yang sama berada di dekatnya, meskipun ada Zilli dan Abi di sana juga Bunda dan Ibu ketika makan bersama tadi. Zilli menemaniku membereskan pakaiannya dengan celoteh kecilnya. Anak ini lucu, pintar, dan semakin hari semakin mirip Papanya.
"Hhhh..." tanpa sadar aku mengehela nafas.
"Mam... capek ya?" tangan mungil Zilli menyentuh tanganku. Aku tersenyum kecil seraya mengelus sayang kepalanya.
"Mama capek tapi seneng akhirnya ketemu kamu setelah seminggu nggak sama-sama." jawabku. Zilli memelukku erat.
"Tapi berarti Zilli nggak bisa main sama Eyang lagi ya mulai sekarang?" tanyanya kemudian.
Aku mengangguk cepat, "Eyang harus pulang ke Solo, kasihan Tante Keisha sendirian di sana. Nanti ya...kalau Zilli libur lagi, kita berdua yang ke sana, ketemu Eyang sama Tante Kei."
Ada binar penuh harap di mata Zilli, "Mama janji." sambungku lagi meyakinkannya.

"Ra..." suara Ibu membuat Zilli berlari menuju pintu dan membukakannya. Ibu tersenyum padanya, "Zilli main sama Om Abi dulu ya, Eyang mau ngobrol sama Mama." Zilli mengangguk kemudian pergi keluar kamar.
Dari cara pandang Ibu, aku sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakannya.
"Kata Abi, Axel itu juga teman kamu, teman lama kamu Ra? Kok Ibu nggak pernah tahu yah?" pertanyaan Ibu penuh selidik.
"Mmm... iya dulu Bu, udah lama banget." jawabku pelan.
"Maaf nih ya Ndok... Bukan maksud Ibu mau ikut campur atau mau tahu urusan kamu. Cuma Ibu dari tadi pertama dikenalin sama Nak Axel, nggak ngerti kenapa Ibu agak terganggu sama senyum juga matanya dia."
"Hahahaha.." aku tertawa mendengar ucapan Ibu, " Yo wis Bu... bilang aja kalau begitu sama Axel, jangan ketawa dan jangan buka matanya." godaku.
"Hush... ora ngono... Maksudku ngene Ndok... Axel karo Zilli iku mirip, aku sadar waktu Zilli ngajak dolanan mobil-mobilane kui. Ngguyu-ngguyune, mripate, persis banget."
Seketika itu juga aku membeku, "Apa-apaan ini... kenapa Ibu tiba-tiba membahas topik yang sudah lama sekali tidak muncul ini." ujarku dalam hati.
"Bu...kita udah sepakat nggak akan bahas ini, aku udah bilang siapa dia, dimana dia, aku akan simpan sendiri. Tolong Bu..jangan berasumsi yang nggak seharusnya, nggak enak kalau sampai ada orang lain yang dengar." jelasku kemudian.
Ibu hanya menggenggam tanganku, mengelusnya, dan menatap mataku. Aku pun tersenyum dan coba mengalihkan topik pembicaraan.
"Jadi Ibu yakin nih, mau ke bandara diantar Bunda Maya aja? Nggak mau mampir Menteng dulu?" tanyaku memastikan.
"Iya, kamu pulang sama Zilli aja. Nanti Maya yang antar Ibu ke bandara. Kasihan kalau kamu pakai antar Ibu dulu ke bandara, capek nanti, fokus sama Zilli dan kerjaan kamu aja ya Ndok. Jaga kesehatan..."
Aku mengangguk mantap.

Selesai mengobrol dengan Ibu, bukan berarti aku segera bisa pulang ke rumah. Zilli masih asik bermain dengan Abi dan Axel. Aku hanya mengamati dari teras kamar. Dua jam kemudian, kurasa saatnya aku membawa Zilli pulang. Aku terlalu lelah, butuh istirahat segera.
"Zillian, kita pulang sekarang." ada nada tegas dalam suaraku. Meskipun kulihat Zilli masih ingin menghabiskan waktu dengan pria-pria dewasa itu, tak kubiarkan diriku mengalah untuk kesenangannya. Sejak kecil dia memang tidak aku biasakan bermanja-manja.

Dengan langkah kecilnya Zilli mendekat, "Pulang sekarang Mam?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk mantap.
"Wah...gue mesti balik juga nih sepertinya Bi." ujar Axel, Axel dan Abi ternyata sudah berdiri di sampingku, "Sama-sama aja ya Ra, tadi kan berangkat juga kita sama-sama." sambung Axel kemudian.
Aku menggeleng keras, "Gue pesen taksi kok."
"Belum pesen kan Ra? Nggak usah Xel, biar gue yang antar Nara sama Zilli balik. Ada barang gue yang ketinggalan juga di Menteng." sahut Abi.
Ekspresi Axel tak terbaca begitu mendengar niatan Abi.
"Asik... diantar Om Abi! Nginep aja ya Om nanti.." Zilli mulai merengek.
"Hahahaha.." Abi tertawa seraya mengacak-acak rambut Zilli, "Sebentar ya, Om ambil kunci mobil dulu. Eh, kamu udah pamit sama Eyang sama Nenek belum? Pamit dulu yuk." Abi menggandeng tangan Zilli.

Aku ditinggalkan begitu saja dengan Axel. Lagi-lagi mati gaya, lagi-lagi nggak tahu harus bicara apa.
"Ra, terakhir kamu ketemu Jason kapan?" tanya Axel tiba-tiba.
Aku tidak siap dengan pertanyaan Axel, hanya bisa membeo "Jason?"
"Yes, my cousin."
"Dua bulan lalu waktu dia ke Jakarta juga gue ketemu kok. Masih di Makau kan dia sekarang?"aku bertanya balik.
"Kebetulan ketemu atau memang udah arrange buat ketemuan?" entah kenapa ada nada penuh selidik dalam pertanyaan Axel ini.
Dengan sedikit menaikkan alis, aku menjawab "Sengaja ketemu, gue sering kok kontekan sama dia. Minggu lalu juga sempet video chat sama Jason, dia mau nikah lo tau?"
Ada kerutan di dahi Axel mendengar jawabanku, "Enteng bener kamu bilang dia mau nikahnya, nggak sedih Ra? Nggak merasa terbuang ya kamu?"
Oke, kali ini omongan Axel mulai tidak bisa aku tebak apa maksudnya. "Sedih? Terbuang? Maksudnya apa ya Xel? Kok kesannya kayak gue punya hati dan ngarep banget sama sepupu lo itu."
"Zilli... Dari pertama dikenalin tadi, muka Zilli itu seperti familiar banget." ucapnya pendek.
Kali ini aku merasa sudah tidak ada gunanya membahas apapun dengan Axel.
"Zil! Bi! Lama banget ya cuma pamit aja!" teriakku ke dalam rumah.
"Sebentar!" suara Abi kini yang menimpali.
Aku masih menatap tajam Axel sambil menunggu Zilli dan Abi. Axel pun sepertinya masih menunggu dengan tatapan bertanya. Tak menunggu lama, Zilli dan Abi muncul tak ketinggalan Ibu dan Bunda. Aku pamit pada Ibu dan Bunda Maya, begitu pun Axel. Zilli sudah masuk terlebih dulu ke dalam mobil, Abi membantuku memasukkan travel bag, dan aku berdiri bersisian dengan Axel.
"Jason bukan bokapnya Zilli, kalau lo mau tahu." ucapku cepat dengan suara serendah mungkin. Segera kubuka pintu mobil dan duduk manis, tanpa menoleh lagi pada sosok pria yang masih menatap bingung padaku.

Abi segera melajukan mobilnya menuju Menteng, meninggalkan mobil Axel yang membuntuti di belakang mobilnya. Pikiranku masih berkelana, bisakah rahasia ini tetap aku simpan? Aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia bersama Zilli. Kenapa juga aku memberitahu mengenai Jason tadi, toh hal itu nggak akan merubah apapun. Yahh paling tidak aku membersihkan satu nama dari tuduhan salah alamat. Kutengok ke belakang, Zilli sudah tertidur pulas tampak damai dan tenang, sepertinya aku akan ikut menyusulnya saja ke alam mimpi. Lagi-lagi mempercayakan Abi membawaku pulang, kali ini dengan malaikat kecilku.

Wednesday, April 13, 2011

Lightning Strike in the Middle of the Day

Percakapanku dengan Abi benar-benar memberikan pukulan mental yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Dulu aku berpikir bahwa cobaan psikologis terberat untukku adalah saat aku memutuskan untuk mengambil beasiswa tersebut tanpa memberitahu Nara. Namun apa yang kualami hari ini tampaknya cukup untuk membuat seorang prajurit kehilangan semangat tempurnya.

Nara sekarang adalah seorang orangtua tunggal dengan anak lelaki lucu yang berumur 6 tahun dan Abi sahabat kuliahku itu amat menaruh hati kepadanya. Apa yang bisa aku perbuat sekarang? Meskipun aku masih menginginkan Nara, dapatkah aku menembus kegetiran Nara? Bilapun itu terjadi, sanggupkah aku melangkahi Abi yang selama ini telah menjaga Nara dengan baik? Bahkan mungkin lebih baik dari yang pernah aku lakukan bertahun-tahun yang lalu?

Mungkin keputusanku 6 tahun lalu adalah kesalahan terbesarku. Aku lebih mementingkan egoku daripada membeberkan semua kekhawatiranku kepada Nara. Saat itu aku benar-benar merasa aku tidak pantas untuk meminta Nara untuk menungguku selama setidaknya 4 tahun aku di New York. Long distance relationship hanya akan membebani aku dan dia dalam menjalani hidup. Lagipula, siapalah aku ini 4 tahun yang lalu? Seorang mahasiswa nerdy yang menumpang hidup kepada orangtuanya. Secara prinsip, aku merasa bahwa jika aku belum dapat berdiri dengan kakiku sendiri, aku tidak pantas meminta tangan seorang wanita, terlebih lagi wanita itu Nara. Bahkan saat aku pergi pun aku sebenarnya meminta sepupuku Jason untuk mengawasi Nara...

Tiba-tiba aku terhenyak dan merasa bagaikan tersambar petir! Apakah mungkin? Is it possible that Jason... Jason... sepupuku satu itu memang aku tahu bahwa dia pemangsa wanita, tapi mungkinkah dia me... tidak, tidak mungkin... tapi mata Zilli mengingatkanku pada Jason...

Aku coba untuk mengenyahkan pikiran buruk itu tapi sekelumit fakta yang kumiliki tetap menggiringku untuk menyimpulkan satu hal mengerikan...
Jason, sepupuku yang seharusnya mengawasi Nara malah mengambil kesempatan saat Nara goyah dan entah bagaimana mengambil kesempatan sempit itu.
Aku bukan pria naif yang akan menyangkal bahwa Nara secara fisik dari dahulu memang sangat menarik. Aku tidak buta. Aku tahu Nara punya banyak pengagum dari jaman dia SMA, kuliah, bahkan sampai waktu aku dan dia bersamapun masih banyak lelaki yang mencoba mendapatkannya.

Selama 10 atau 15 menit pertama pada saat makan siang itu, benakku dipenuhi berbagai macam pikiran. Aku hanya tersenyum dan mengangguk secara otomatis.
"Om Axel, ko malah ngelamun sih Om?" tanya Zilli.
"Ga ko, Om lagi mikirin urusan kerjaan aja." kilahku kepadanya.
"Tante ini enak sekali ya masakannya." sahutku seadanya seraya berpikir di dalam hati, "Zilli, kamu mungkin keponakan jauhku. Meskipun keberadaanmu mempersulit keadaan, aku akan mencari tau soal ayahmu. Jika benar Jason adalah ayahmu, aku akan buat perhitungan dengannya." Dan aku kemudian aku hentikan otakku dan mulai menikmati apa yang kumiliki hari ini: hidangan Indonesia yang sedap, teman-temanku dan keluarganya. Senyumku pun mulai mengembang karena tingkah laku Zilli di meja makan.

Obrolan Dua Sahabat

Setelah bertemu Bunda dan Ibu Ajeng yang tak lain adalah Ibu dari Nara, aku dan Axel memisahkan diri. Makan siang masih disiapkan, Nara dan Zilli pun sepertinya masih asik melepas rindu sekalian packing.
"Zilli itu anak kandung Nara Bi? Serius?" Axel tiba-tiba bertanya.
Aku tersenyum kecil, "Iya, anak kandungnya...kaget ya?" tanyaku kembali.
Axel mengangguk pelan, "Kapan nikah dia?"
"Unwed mother, single parent" jawabku lagi, kulihat tatapan kaget Axel.
"Kok bisa?"
"Hahaha pertanyaan lo nih aneh banget sih Xel, ya bisa lah, lo make out sama lawan jenis lo, terus hamil. Bodoh tau nggak pertanyaan lo."
"Maksud gue, ini Nara lho Bi. Gue tahu seperti apa Nara itu, bukan perempuan ceroboh, bukan perempuan kebanyakan yang bebas-bebas macem temen-temen kita."
"Makanya gue sendiri pengen tahu, laki-laki macam apa yang bisa-bisanya memanipulasi pikiran Nara. Dia perempuan paling logis yang gue kenal."
"Umur berapa Zilli Bi?"
"Lima, mau enam."
Ada gelisah di mata Axel, kerutan di dahinya menunjukkan betapa dia berpikir keras, mengenai apa hanya dia yang tahu. Tapi tetap, kekagetannya tentang Zilli membuatku bertanya-tanya.
"Bi...lo sama Nara ada hubungan apa? Sorry nih kalau kesannya pengen tahu banget." tanya Axel setelah diam beberapa saat.
"Nah...lo sama Nara bisa kenal itu gimana ceritanya?" tanyaku kembali.
"Kebetulan kenal karena sama-sama suka mendatangi kafe yang sama, beberapa kali ketemu, ya gue deketin, ajak kenalan, ajak ngobrol-ngobrol, deket deh. Lo belum jawab pertanyaan gue." Axel kembali menunggu jawabanku.
"I love her, really love her... Ibu Ajeng itu adik sepupu nyokap gue. Tapi gue sih nggak peduli yah, gue cinta, ya gue tetep usaha terus buat deketin dia. Toh udah jauh juga kan hubungannya, bukan sepupu langsung. Gue sebenernya masih aneh sama hubungan lo sama Nara, lo bisa bilang deket, sedeket apa emang?" selidikku.
"Dulu Bi, ya deket-deket gitu aja." Axel tampak menghindari pertanyaanku, "by the way, dia tau soal perasaan lo?" aku hanya mengangakat bahuku.
"Entahlah, gue sih selama ini selalu berusaha ada di sisi dia. Kasih dia support kapan pun dia perlu, tapi itulah Xel. Nara nih entah pura-pura bodoh atau emang beneran nggak sadar, dia tetep lo coba nyomblangin gue sama temen-temen ceweknya."
"Hahahahaha... ungkapin dong." goda Axel.
"Sejarah hidup Nara agak tragis, makanya gue masih nunggu waktu yang tepat." gumamku.
"Soal bokapnya ya..."
Aku serius kaget mendengar ucapan Axel, hanya sedikit orang yang tahu tentang Ayah Nara. Segera kutepis kekagetanku, "dan juga soal Ayah Zilli yang masih jadi misteri buat kita semua." tambahku.
"What? Jadi kalian nggak tau siapa ayahnya?" Kekagetan tampak jelas di suara Axel.
"Cuma Nara yang tahu, and she keep it. Dia sadar kalau dia hamil sepulangnya dari magang di Singapura, dia tampak shock tapi tetap coba untuk tegar. Kita semua coba tanya dengan halus ke dia, dia nggak jawab dan cuma bilang, aku sayang sama anak ini dia nggak salah. Sedih nggak sih lo, bayangkan Xel. Makanya kalau gue sampai ketemu sama bajingan itu, dia harus ngerasain tonjokan gue." jawabku berapi-api.
"Bule gue rasa bokapnya, mukanya Zilli indo banget soalnya. Matanya, tatapannya nggak asing." Axel memberi komentar.
"Nara cuma bilang, ayah kandungnya Zilli nggak di Indonesia, jadi ya gue simpulkan, mungkin kenal waktu di Singapura." lanjutku kemudian.
Belum sempat Axel komentar, panggilan ceria Zilli membungkam kami.
"Om Abi! Om Axel! Ayo kita makan, udah dipanggil Eyang!" teriaknya.
Aku tersenyum mengajak Axel untuk segera menuruti titah malaikat kecil ini, sempat kukatakan "Xel, simpen obrolan kita tadi,jangan sampai Nara tau soal obrolan tadi."

Siapa Zilli?

Niatnya mau naik taksi ke kantor, ambil mobil, langsung meluncur ke Bogor. Kenapa malah sekarang duduk manis di mobil si cecunguk angkuh ini? Inilah faktor nggak fokus, nunggu taksi sambil ngelamun, seharusnya setan pohon beringin yang samperin aku, kok ya malah manusia ini yang berhasil nyulik aku.
"Xel, anter gue ke kantor aja deh... Gue mau ambil mobil, biar gue ke rumah Bunda pakai mobil sendiri aja." pintaku halus.
"Sekalian aja deh Ra, seneng banget ribet sih kamu. Toh aku juga mau ke sana, tenang aja, seminggu di Jakarta, aku udah cukup mahir kok pakai setir kanan."
Kok ya jawaban Axel ini nggak mengejutkan ya, aku sudah bisa menebak permintaanku tidak akan diluluskannya. Seketika itu juga suasana hening jadi teman kami berdua. Sepertinya dia sama jengahnya denganku, tangannya menekan tombol play cd playernya. You and me dari Lifehouse mengalun pelan menemani perjalanan kami.
"Ra...kok diem?"
"Karena emang nggak ada yang perlu diomongin?" jawabku dingin.
"Tapi banyak yang ingin aku tanya ke kamu." sambung Axel kemudian. Aku hanya menatapnya tanpa ekspresi.
"Abi sama kamu, sejak kapan kalian kenal?" tanyanya.
Aku bisa lihat sorot penasaran di matanya, "Sejak lama" jawabku sekenanya.
"Ya lama itu kapan Ra?" mulai muncul nada kesal di suaranya.
"Kok lo jadi pengen tahu gitu sih Xel?" jawabku tak kalah gusar.
Drrrt drrrt drrrt, getar ponsel tanda telepon masuk, membuat perdebatan yang baru saja akan mulai harus disudahi.
"Abi" tertulis jelas di layar ponselku.
"Yes Bi?" sahutku.
"Udah selesai Ra? Jadi ke sini?"
"Udah, lagi on the way. Aku sama-sama Axel ke sananya, dia mau ke sana juga katanya."
"Oh iya, semalam aku sempat telepon dia, ngundang dia makan siang bareng sekalian today."
"Oh oke... udah on the way kok." ujarku lagi.
"Zilli wanna speak with you."
"Now?" tanyaku memastikan.
"Yes, hold on."
Kutunggu beberapa saat...
"Mama!" suara di seberang sana, membuatku tersenyum.
"Hai Zil..."
"Jemput Zilli hari ini kan Mam?"
"Of course... I'm on my way, to pick you, just wait oke?"
"Oke...zilli want to tell you a lot of story."
"What story?"
"My holiday with Eyang, it was fun...coba ada Mama." rajuk Zilli.
"Hahaha, oke just tell me your story later. I'll be there soon honey, just wait ya?"
"Ok, be careful Mam... see you"
Sambungan telepon pun ditutup.
"Honey?" suara dengan nada tanya penuh selidik menghapus senyumku seketika. Membuatku kembali sadar sedang dimana aku kini. Aku hanya diam, tidak ada yang perlu kutanggapi.
"Seriously...comment please" lagi Axel menggangguku.
"Xel...you don't know nothing, ok?"
"So tell me, make me know..."
"I won't... so please just shut your mouth and drive carefully." ujarku dingin.
Perjalanan yang hanya 70 menit, terasa lama sekali karena celotehan Axel yang penuh ingin tahu.
Segera kubuka pintu tanpa menunggu mesin mobil dimatikan dahulu, kutinggalkan Axel dengan ucapan terimakasih pelan.

"Hai Ra" Abi langsung memelukku, "Hallo Xel, akhirnya sampai sini juga setelah sekian tahun nggak mampir." Abi melepasku dan menjabat tangan Axel.
"Rame ya Bi?" tanya Axel.
"Nggak kok, cuma makan siang biasa, nyokap gue,nyokap Nara, sama Zilli terus kita bertiga." jawab Abi.
"Zilli?" tanya Axel, Abi tersenyum dan menggenggam tanganku.
"Nanti gue kenalin." sahut Abi acuh tak acuh.
Abi membimbingku dan Axel menuju ruang keluarga.
"Zilli! Lihat siapa ini?!" seru Abi.
Seorang anak kecil dengan senyum cerianya berlari menghampiri kami, segera kulepas genggaman Abi dan kupeluk erat bocah lucu itu dengan erat.
"Miss me?" tanyaku padanya, yang ditanya mengangguk mantap.
"Are you okay Mam? You look not good." tangan kecilnya menyentuh wajahku.
Sejujurnya aku memang tidak sehat, secara psikis tepatnya. Tapi sentuhan tangan mungilnya, seolah menghapus resah yang sudah hampir seminggu ini membebaniku.
"I'm okay." kutegaskan ucapanku dengan senyum, "Mommy really miss you!" kupeluk erat lagi Zilli seolah belum puas aku melepas rinduku.
"Ehem!" suara Abi menyadarkanku. "Ini jagoan kecil namanya Zilli, Zilli cium tangan sama Om Axel." sambung Abi kemudian.
Kulepaskan peganganku pada Zilli, tanpa malu-malu disalaminya Axel.
"Temannya Om Abi?" tanya Zilli dengan tatapan ingin tahu.
"Iya...teman Mama Zilli juga." jawab Axel seraya menyentuh kepala Zilli pelan. Aku bisa lihat ada banyak tanya di mata Axel.
"Zil...yuk ikut Mama dulu." ajakku menarik Zilli jauh-jauh dari Axel.
"Aku packing barang-barang Zilli dulu ya Bi, nanti aku nyusul ketemu Ibu sama Bundanya." aku meninggalkan dua orang pria dewasa itu tanpa menunggu tanggapan mereka.

Oh ya aku belum cerita tentang Zilli ya? Maaf bukan maksudku untuk menutupi hal mengenai Zilli tapi menurutku akan lebih baik aku menceritakannya di waktu yang sudah tepat, seperti sekarang. Namanya Wisnu Zillian, dia malaikat kecilku yang baru berumur 5 tahun menuju 6 tahun. Anak laki-laki yang cerdas, tampan, lincah tapi tukang kritik, hihihi. Dia memanggilku Mama di umurnya yang belum genap 1 tahun, dan tepat 1 tahun dia melakukan langkah pertamanya. Ya, aku single fighter, tanpa suami. Tapi aku akan sangat marah kalau ada yang berani menyebut Zilli sebagai anak haram. Tidak ada anak yang haram di dunia ini, kesalahan orangtua tidak sepantasnya dilimpahkan pada si anak. Sejak umur 4 tahun Zilli sudah mulai aku masukkan ke play group untuk membantunya dalam bersosialisasi, sekarang dia sudah duduk di TK 0 kecil. Sudah makin pintar menyanyi, menggambar, sudah hapal angka dan huruf. Aku bangga dengan anak laki-lakiku ini.

Our First Morning Together Again

Jakarta di pagi hari ini sungguh bersahabat, no traffic jams. I wish it could be like this everyday. Banyak sekali yang sudah berubah dari kota ini. Untung saja jalan-jalan besarnya tidak berubah banyak. Seminggu sudah aku membiasakan diri menyetir di Jakarta. Setidaknya aku sudah dapat mencapai kantor, apartemen dan beberapa tempat kenanganku tanpa tersasar.
Sembari kakiku menginjak pedal gas dan tanganku mengoreksi gerakan roda kemudi, aku terhanyut memikirkan kejadian kemarin malam...

Aku tak menyangka akan bertemu Nara kembali di minggu yang sama. Rupanya dialah interior designer yang direkomendasikan Abi untuk menangani kantor NINE. Aku tidak tahu sejarah macam apa yang dia miliki dengan Nara. Mereka tampak sangat dekat. Jujur saja, aku merasa agak terganggu dengan hubungan mereka. Apakah mereka pasangan kekasih? Atau teman baik? Suatu saat nanti aku harus bertanya kepada Abi.

Si Cantik tampak cukup terkejut saat menyadari bahwa kita terikat kontrak kerja. Terkejut dan ketus. Untungnya masih ada Abi dan Alena yang memaksanya tidak go-all-out dengan sikap ketusnya terhadapku itu. Sepanjang makan malam yang singkat itu, hanya sedikit hal yang bisa aku usahakan. Aku bahkan sempat sedikit terkejut saat mendengar si Cantik tengah mengandung.
"Silakan lho kalian mau pesan apa, sorry banget nih kita udah makan duluan. Maklum nona satu ini lagi hamil janin monster, bawaannya lapar melulu." Abi mengagetkanku dengan ucapannya.
Untungnya hal tersebut hanya gurauan Abi saja. Dengan keadaan yang kurang mendukung, aku berhasil membuat Nara untuk bertemu kembali denganku hari ini. Dan di saat yang sama, membebaskan diri dari keperluan untuk mempelajari kembali legalitas perusahaan yang aku yakin akan benar-benar memusingkan untuk dihadapi. Semoga aku bisa membuat Nara sedikit melunak pada hari ini.

Agar tujuan itu tercapai, Kenanga adalah tujuan pertamaku di hari ini. Vanilla tea adalah senjata pertamaku.

Sesampainya aku di NINE, aku merasa lega. Aku yang pertama datang, mobil Nara tak terlihat di parkiran. Jadi akupun menunggu kedatangannya sambil menyeruput vanilla tea milikku.

Eh? Bukankah itu mobil Abi? Mengapa Abi lagi yang mengantarkan Nara? Banyak pertanyaan dan asumsi yang berkeliaran di benakku tapi kuhiraukan semuanya.
"Sampai juga akhirnya Ra."
"Sorry..belum terlambat dari waktu yang ditetapkan tapinya kan?!" sahutnya ketus. Langsung kusodorkan senjata pertamaku padanya.
"Aku baru sampai juga kok, tadi sempetin ke Kenanga dulu buat beli ini."

Tampaknya senjata pertamaku terbuang percuma. Selain pembicaraan bisnis, Nara bahkan ber-gue-lo denganku. Setelah kutanyakan padanya, dia malah menggunakan saya-Anda. Tampaknya dia benar-benar memelihara dendamnya atas kepergianku 6 tahun yang lalu.

"Ra, tunggu." sahutku saat dia beranjak pergi.
"Ada apa lagi, Pak Axel?" jawabnya dingin.
"Kamu ada janji sama siapa?"
"Urusan pribadi saya adalah privasi saya."
"Oke, maaf jika kamu merasa aku terlalu privy. Tapi aku harus tahu, apakah janjimu itu dengan Tante Maya? Karena akupun sekarang akan ke rumah Tante Maya."
"Kamu mengenal Bunda?"
jawabnya dengan agak terbata.
"Aku kan bareng sama Abi dari awal kuliah. Masa iya aku tidak mengenal Tante Maya?" jawabku lagi. "Kalau gitu kita langsung aja yah ke rumah Tante Maya." kataku seraya membukakan pintu mobilku.

"Kalau kamu menyangka aku akan menyerah semudah itu, kamu salah, Nara."
kataku dalam hati saat kami berangkat menuju rumah Tante Maya.