Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Wednesday, April 20, 2011

The First Reaction

Terakhir aku bertemu dengan tinju sahabatku itu adalah sewaktu kami sparring Muaythai di kampus sekitar 3 tahun lalu. Aku tidak perlu jelaskan betapa kerasnya pukulan tersebut. Dengan Muaythai sebagai pondasi, pukulannya cukup mampu untuk mengirimkan orang ke rumah sakit terdekat.

Untunglah sepersekian detik sebelum pukulan itu mendarat ke ulu hatiku, aku menyadari tarikan napas Abi dan perubahan raut wajahnya yang memberitahuku bahwa aku akan mendapatkan rasa sakit yang cukup dahsyat.
"Uhuk," aku terbatuk saat menerima pukulan Abi. Tentunya reaksi tubuh selanjutnya adalah normal mengingat persiapanku menerima pukulan tersebut hanyalah menahan napas dan mengeraskan otot perut. Dunia langsung mematikan lampu di tengah hari bolong.

Saat aku tersadar, Abi tak terlihat di sekitarku. Aku terbangun di ruang kesehatan bandara. Perawat yang sedang berada di situ pun menyapaku, "Bapak Axel?"
"Iya, Mbak. Betul saya Axel,"
jawabku.
"Syukurlah Anda sudah siuman. Orang yang tadi memukul Anda tampak terlatih sekali langsung mengincar ulu hati. Ajaib juga Anda tidak mengalami luka dalam."
"Oh, yah... mungkin saya memang beruntung, Mbak."
sahutku singkat. Aku tidak mau membeberkan lebih banyak detail pribadi kalau memang tidak ada luka serius. Aku langsung menegakkan badanku, yang rupanya adalah suatu kesalahan.
"Pak Axel, sebaiknya jangan memaksakan diri," sahut si perawat.
"Tak apa-apa, Mbak. Mungkin karena capek saja. Saya bisa langsung pulang kan?" tanyaku padanya.
"Tadi dokter jaga memang berkata bapak boleh langsung pulang. Saya heran bapak terpukul begitu keras tapi tak mengalami luka serius," cerocos si perawat lagi.
"Anggap saja hari ini hari keberuntungan saya,"
sahutku seadanya sembari melangkah pergi ke mobilku yang terparkir di areal parkir menginap.

Tiga jam setelah itu, aku menunggu Abi di gym apartemenku. Aku kali ini siap. Jika Abi masih mengamuk, aku siap menghadapinya. Jika dia ingin mendengarkan penjelasanku, aku pun sudah siap membeberkan fakta yang baru saja kuketahui kemarin.

"Berabe deh nih." adalah isi pikiranku saat aku melihat Abi datang mengenakan celana pendek dan taping di kedua tangan dan tulang keringnya. Abi melihatku dengan mata penuh amarah.
"Bi..." Dia tak hiraukan sapaanku. Badanku pun langsung menegang. Tadi sementara menunggunya aku sempat berlari di treadmill, aku hanya bisa berharap pemanasan itu cukup untuk menghadapi Abi. Aku menyesali kenyataan bahwa kesiapanku lebih ke arah mental daripada fisik.
"Abi..." Aku mencoba kembali, "Listen me out, will you?"
"I'll listen," akhirnya dia menyahut. "After I beat your despicable ass up!" teriaknya sambil berlari ke arahku. Aku langsung menaikkan tanganku sebagai guard dan memastikan kakiku tak terpatri ke lantai karena ketegangan.

Serangan pertamanya menunjukkan dia tak berkarat. Orang-orang kebanyakan akan masuk dengan flying kick, yang akan bisa ku-sidestep dengan mudah dan kemudian kuberikan serangan apa saja yang terlintas dalam pikiran. Serangan pertamanya adalah sebuah front kick kiri yang terus terang menghambatku untuk memberikan respons apapun selain sidestep ke kanan. Kepalan tangan kanannya langsung menyambutku saat kaki kirinya menjejak tanah. Terpaksa aku mengorbankan tangan kiriku dan melepaskan pukulan kananku ke dagunya.

Setelah tiga serangan awal itu, semua hal yang kami lakukan setelah itu seperti bercampur baur. Aku memberinya beberapa bilur dan memar, dia memberiku hal yang sama. Aku berhasil menggores pelipis kanannya, dia robek pelipis kiriku dengan sikutnya. Setelah 15 menit perkelahian berlangsung, akhirnya kami pun mulai berkata-kata.

"Why did you do it?" tanyanya dengan bibir penuh darah, "Kenapa lo sampai tega menodai Nara, Xel?"
"Apa lo percaya kalo gue bilang gue ga ngapa-apain Nara?"
"Jangan anggap gue idiot, Xel! Zilli sudah mau 6 tahun."
"Tenang dulu dan dengar gue, Bi. Gue aja ga percaya waktu denger pertama kali."

Setelah ceritaku selesai, Abi dan diriku membersihkan diri di bathroom gym. Again, thank God for the hot water. Aku suruh Abi untuk menginap di sini malam ini. Baru pernah kulihat Abi seperti ini. Kalut, marah, eksplosif, dan akhirnya... submisif di hari yang sama. Mungkin dia kaget mendengar kegilaan Nara, aku pun masih merasa kaget. Mungkin kami sekarang mengalami syok yang tertunda. Komunikasi kami setelah pembicaraan itu hanyalah sebatas temu pandang, anggukan dan sesekali, senyuman getir. Senyuman getir Abi karena perasaan bingung, sakit terkhianati dan overwhelmed. Senyuman getirku karena kenyataan bahwa pilihanku 6 tahun terdahulu adalah bukan yang terbaik bagi Nara.

"Talk to you in the morning," kataku pada Abi sebelum kumenutup mata. Oh Tuhan, hari ini melelahkan sekali.

Post a Comment