Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Friday, April 15, 2011

And the emotion take a part

"Ra...Nara..." guncangan pelan di bahuku membangunkanku. Wajah Abi yang pertama tertangkap oleh mataku, "Udah sampai, Zillian udah aku gendong tadi ke kamarnya. Kamu mau terusin tidur di mobil? Mau aku temenin?" seringai jahil muncul di bibirnya.

Aku pun langsung bangun dan keluar mobil, "Sorry Bi, kamu jadi repot anter aku sama Zilli begini." dengan tulus aku meminta maaf.

"Kayak sama siapa aja deh kamu Ra, pakai sungkan begitu. Santai aja deh. Eh..besok ajak Zilli berenang yuk, ke PI aja gimana?" Abi mensejajarkan langkahnya denganku.

"Jangan deh, Senin dia udah masuk sekolah. Kecapekan nanti, kasihan." tolakku.

Abi duduk di ruang tengah, memperhatikanku membuat secangkir teh. Tak lama kusodorkan teh manis hangat padanya, sementara kutinggalkan untuk berganti pakaian yang lebih nyaman. Saat kukembali tampak dia sedang asik berkutat dengan netbook milikku.

"Ra, bakal kebangun tengah malam nih kayaknya Zilli. Pules banget tidurnya barusan aku lihat." tukas Abi tanpa menoleh.

"Hu uh... biar aja, udah kenyang toh dia. Nanti kalau terbangun, paling cuma minta susu aja, terus tidur lagi. Kecapekan banget sih dia kelihatannya. Keasikan main sama kamu tadi."

"Sama Axel juga Ra." sambung Abi, aku hanya diam.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, ketika Abi menyusulku duduk di teras samping. Dari sudut mata, aku sadar dia memperhatikanku, tapi tetap saja kehadirannya tak kugubris. Aku masih saja sok sibuk membaca laporan dari kantor. Entah firasatku saja, atau dia memang ingin membahas topik yang aku hindari.

"Kamu aneh setiap ketemu Axel. Axel juga sejak kenalan sama Zilli ekspresinya berubah, tak terbaca. Ada apa sih Ra?" Abi menggenggam tanganku. Aku hanya diam dan memijat pelipisku yang seringkali sakit setiap kali topik mengenai Axel muncul.

"Ibu juga tadi tanya banyak soal Axel ke aku, sempat banding-bandingin sama Zilli juga. Axel juga, tanya detail banget mengenai Zilli. Sorry Ra... mungkin nggak sih firasatku benar? Axel, kamu, Zilli, kalian punya sejarah yang kami semua nggak tahu?" lagi Abi bertanya.

Keterkejutanku tertangkap olehnya, tapi lagi-lagi aku hanya terdiam tak bisa menyanggah ataupun mengiyakan.

"Sorry...sorry..." Abi mengubah nada suaranya, " Aku nggak nuduh Axel itu Ayah biologis Zilli, mungkin Axel kebetulan kenal sama Ayahnya Zilli. Nggak mungkin banget aku nuduh Axel yang jadi Ayahnya Zilli, aku sangat kenal dia, pribadi yang sangat bertanggungjawab sahabat aku yang satu itu." sambung Abi kemudian.

Kali ini tanpa sadar emosiku meledak, "Kenapa sih, ada apa sama kalian semua?! Nggak Ibu, nggak kamu, bahkan Axel yang baru muncul lagi mendadak bahas-bahas soal Ayah biologis Zilli! Kita udah sepakat ya Bi, aku udah pernah bilang, jangan pernah ungkit masalah ini lagi! Terus apa maksud kamu tadi?! Axel laki-laki bertanggungjawab?! Maksud kamu aku gitu di sini yang naas dapet peran perempuan binalnya?! Nggak usah sok tahu Bi! Kamu nggak mengenal Axel sebaik yang kamu kira! Akan bilang apa kamu kalau ternyata Axel ayah kandung Zilli?! Sahabat kamu yang bertanggungjawab itu bisa ceroboh juga, bisa apa kamu?!" tanpa sadar aku mengucapkan hal yang tidak seharusnya. Kemarahan menguasai logikaku, tak sempat berpikir, semua sampah yang menyesakkan akhirnya termuntahkan tanpa rencana.

Abi diam, sorot mata itu nggak salah lagi, sorot terluka tampak jelas dimatanya. Aku menjauh, menutup wajahku, mencoba bernafas perlahan.

"Kamu nggak salah ucap kan Ra? Aku nggak salah dengar kan? Jangan bercanda Ra, aku serius." setelah saling diam beberapa saat, Abi akhirnya menemukan kembali kesadarannya dan mulai membuka suara.

Aku melangkah ke dalam rumah dan mengambil kunci mobil Abi. Kuletakkan kunci itu di tangannya. "Pulang Bi... aku perlu waktu sendiri." Abi tampak ingin menolak, "Please..." dengan suara pelan aku memohon padanya.

Tanpa basa basi ABi melangkah gontai menuju pintu depan. Tak lama kudengar suara mesin halus dihidupkan, semakin lama semakin tak terdengar suaranya. Abi pergi dan aku masih terduduk di teras dengan sesak yang semakin menghimpit.

"Tuhan...enam tahun lalu dia pergi, enam tahun lalu aku sudah membulatkan tekad tidak pernah akan ada 'KAMI' lagi, enam tahun lalu aku menguatkan diri dengan hanya 'aku' dan 'dia'. Enam tahun sudah hidupku normal, berusaha untuk tetap normal tepatnya. Tapi ada apa sekarang? Masihkah Kau murka karena kecerobohanku dulu? Tapi kenapa baru sekarang hukuman-Mu datang, setelah enam tahun? Dan mengapa harus dengan kemunculannya? Haruskah kuteruskan kembali cerita 'aku' dan 'dia' yang tidak pernah final? Tidak bisakah Kau cukupkan kebahagiaanku hanya dengan Zilli? Menyudahi cerita tak berkesudahan ini." hatiku menangis.

".... Akan bilang apa kamu kalau ternyata Axel ayah kandung Zilli?! Sahabat kamu yang bertanggungjawab itu bisa ceroboh juga, bisa apa kamu?!"
Masih terngiang jelas ucapan Nara tadi, dengan kemarahan yang melingkupinya, dia tak sadar sudah membuka rahasia besar sejarah hidupnya.

"Gila! Jadi Axel orangnya, sahabat terbaik gue! Damn!" rutukku.

Kupinggirkan mobil, menyetir dalam keadaan emosi banyak yang celaka. Aku belum punya rencana mati muda dengan beban penasaran begini.

Dengan ingatan yang terbatas, aku coba merunut kejadian enam tahun lalu. "Axel berangkat ke NY, Nara balik dari Sing sebulan kemudian. Begitu sampai, besoknya dia kasih kabar kalau dia hamil, sembilan bulan kemudian Zilli lahir. Hmmm... harusnya memang di Sing kejadiannya. Apa mereka sempat ketemu di Sing? Sial si Axel, bisa-bisanya hamilin anak orang terus kabur begitu aja." gumamku.

Kutekan nomor kontek Axel, " nomor yang anda tuju berada di luar jangkauan." terdengar suara mesin perekam di seberang sana.

"Shit! Jangan sampai lo kabur lagi Xel!" umpatku. Kuhidupkan kembali mesin mobil, entah kemana akan kukemudikan mobil ini.

Post a Comment