Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Wednesday, June 29, 2011

The Day After

AXEL’S APARTMENT

Aku terbangun mendengar denting gelas di dapur. Itu pasti Abi yang sudah terbangun lebih dahulu. Kucoba menggerakkan badanku namun seluruh bagiannya terasa sekaku kayu kering di padang gurun. Peristiwa kemarin malam bukan hal yang bisa dilakukan sambil lalu. Dan hal ini harus tetap dihadapi. Abi tak bisa kubiarkan terlalu lama menebak-nebak apa yang terjadi. Kenyataannya sudah cukup absurd tanpa dia menebak kiri dan kanan. Kupaksakan badanku untuk bergerak. Otot yang menjerit tak kugubris, lebam yang berdenyut tak kuhiraukan. Aku harus membeberkan semuanya pada sahabatku itu.

Tampaknya aku harus meminta Alena untuk menggantikanku hari ini. Toh dengan keadaan sekarang, untuk apa aku memaksakan alasan kerja untuk bertemu dengan Nara?

“Alena di sini. Bisa saya bantu?” Dia mengangkat setelah dering ketiga.

“Sibuk sekali ya Len? Ampe ga sempet liat siapa yang nelpon?”

“Oh, Axel? Ga sibuk sih. Ini lagi nyetir.”

“Hari ini schedule lo penuh ga?”

“Paling nanti sore ada janji sama orang-orang yang direkrut. Kenapa emangnya Xel?” nada suaranya agak berubah.

“Sorry banget, gue mestinya jam 11 sebelum lunch ketemu sama Nara buat urusan interior kantor. Gue baru pulang dari Macau. Asli cape banget. Bisa tolong gantiin gue ga?”

“Oh, iya. Gapapa ko Xel. Dari Macau?”

“Iya, ada urusan mendadak Sabtu malem gue mesti ke situ. Belum kebayar tidurnya.”

Oh, oke deh. Nanti ketemu lo di kantor?”

“Masih ga tau, tergantung urusan gue ini beres ato ga. Details soal itu gue emailin sekarang juga ya. Thanks, Len.”

“Don’t mention it,” balasnya seraya menutup telepon.

Aku pun bergerak menuju dapur. Semerbak wangi kopi menyeruak ke dalam hidungku, sebelum aku sempat berkata, Abi melihatku dan berkata, “Duduk Xel. Gue masih ga percaya sama cerita lo kemaren.”

Aku pun duduk di depannya, di mana ada secangkir cappuccino yang masih mengepulkan asap. Kuseruput emas hitam itu, “Thanks for the coffe.”

“Sekalian aja gue buatnya. Jadi bener yang tadi malem lo bilang ke gue?” tanyanya sekali lagi.

“Iya. Gue juga bingung. Ga abis pikir. Ko bisa-bisanya Nara bertindak begitu?”

Abi menatapku dan kembali mengamati cangkirnya, “Gue juga ga ngerti. Nara itu logical. Dia bukan tipe orang yang impulsif begitu. Gue perlu tau sesuatu.” Nada bicaranya membuatku bergerak tak nyaman di tempat dudukku, “Hubungan lo kaya apa sih sama si Nara?”

Ga ada cara lain, aku harus membeberkan semua masa laluku dengan Nara pada Abi. “Truth be told. Gue dulu pacaran sama Nara.” Abi tak berkata apa-apa. Satu reaksinya hanyalah matanya yang kini menatapku heran. “Back before I was even in the States.”

Keheningan kembali menyeruak ke dalam dapur yang baru saja dimasuki cahaya mentari pagi ini. Kami berdua tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Terhanyut dalam berbagai macam skenario what-ifs dengan berbagai macam situasi yang mungkin kami alami.

“Ceritanya absurd, Xel,” sahut Abi lagi memecah kesunyian yang panjang.

“Lo kira gue udah percaya? Gue jujur belom pernah liat Nara mabok. Gue ga nyangka dia segitu impulsive kalo lagi drunk.”

Kesunyian itu kembali menyeruak. Setelah mulai pusing memikirkan puncak keanehan dalam hidup Nara, aku pun mulai terdistraksi oleh denyutan lebam dan memar serta teriakan sendi-sendiku. “Yang pasti sih kemaren itu abis-abisan lo all out sama gue. Kampret.”

“Pertanyaannya sekarang kita ngapain dari sekarang.”

“Itu mestinya pertanyaan gue. Lo mau apa setelah tau Zilli itu anak lo?” sambar Abi.

“Jujur, gue ga tau mesti apa,” sahutku dengan dahi berkerut. “It’s not like I’m really finished with Nara. Tapi keliatannya lo juga masih tetep ngarepin Nara kan?”

“Well, kalo ga gitu, masa gue sampe niat kaya kemaren malem. Dan waktu itu di Bogor pun gue udah cerita kan ke lo?” sahutnya dengan nada datar.

“Yang pasti, gue ga mau lo mundur karena gue. Gue ga ada sebulan di Jakarta. Lo udah terus nemenin Nara sekian lama ini. Let this be Nara’s decision.”

“You’re Zilli’s father. It’s your right,” Abi menatapku dengan mata dingin penuh perhitungannya.

“Hak gue? All I did was selling my sperm for booze money. Dari kedeketan lo sama Zilli, you’re more his father than I am. Gue ga pungkiri gue sayang Nara tapi gue masih berhutang satu penjelasan soal kenapa dulu gue pergi.”

“You have a point there,” tatapan mata Abi akhirnya melunak.

“Daripada debat ga jelas begini, mendingan kita langsung ke tempat Nara dan jelasin semuanya. Dengan situasi seperti ini, lo juga harus ikut.”

NARA’S OFFICE

Kami memutuskan untuk menggunakan mobil masing-masing. Rupanya Abi memang sudah sangat dekat dengan Nara. Bahkan security kantor Nara pun sudah tidak asing dengannya. Itu memudahkan kami untuk langsung naik ke tempat Nara.

Saat memasuki kantor Nara, kami langsung menuju lantai atas. Aku melihat Zilli yang sedang tertidur dan Nara di sampingnya. Dia menatap anak kami dengan padangan penuh kasih dan kemudian menghela napasnya, "Heuhh... mommy love you Zilli."

"I love the both of you..." sambar Abi. Nara terperangah dan membalikkan badannya. Saat Nara melihat kami, keheranannya pun bertambah. Mungkin dia bertanya-tanya kenapa kami berdua memiliki pelipis yang ditambal plester, bibir yang tampak sobek, dan bengkak di sana sini.

Aku pun menambahkan, “He’s telling the truth. He does love the both of you.”

“Let’s talk downstairs,” Nara membimbing kami ke kantornya kembali.

Setelah kami semua di ruang kerja Nara, Nara pun menutup pintu dan berseru, “What the hell happened with you two?”

Post a Comment