Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Wednesday, October 26, 2011

The Calm after the Storm

Sejujurnya aku kaget melihat dua cecunguk yang dengan lancangnya berdiri di depan pintu kamar dengan kondisi yang sama-sama babak belur. Rasa ibaku berganti menjadi risih dan terganggu, apa-apaan sih mereka ini. Dengan mimik dingin aku beranjak menuju ruanganku diikuti dengan langkah gontai mereka.

“What the hell happened with you two?” sebisa mungkin aku menahan emosiku.

Makin sebal melihat ekspresi keduanya yang cuma senyum-senyum sambil pandang-pandangan.

“Oh mendadak bisu tuli yah abis tonjok-tonjokkan?” aku beranjak ke lemari sudut mengambil kotak P3K. Duduk di hadapan keduanya, dan mulai menyobek bungkus plester yang ku pegang. Kuganti plester pada luka di pelipis Abi.

“Ishh…duhh..pelan-pelan dong Ra.” Abi mengaduh, aku hanya tersenyum sinis melihatnya.

“Sini muka lo Xel, bibir sampe sobek gitu.” Kali ini kuganti plester di sudut bibir Axel. Persis seperti Abi, Axel pun mengaduh dengan ekspresi yang sama.

“Waktu tonjok-tonjokkan ngga sakit kan?! Nggak usah ngeluh deh Cuma diganti plester aja.” sungutku.

“Hhhh… so… ada yang mau kasih tau gue ada apa ini sebenernya? Datang berduaduaan dengan muka babak belur, dan lo..” tunjukku ke wajah Abi “..bisa-bisanya langsung nyahut ‘I love the both of you’. Apa maksudnya?” sambungku lagi.

Keduanya kini berpandang-pandangan lagi dalam diam.

“Hello!! Comment please… gue bukan lagi latihan monolog yaahhh!”

“Mmm…sedikit practice aja Ra, udah lama kita nggak Muaythai bareng.” jawab Axel.

“Ok…then Bi, any comment?”

“Truly I love you Ra…” hanya itu yang terucap dari mulut Abi.

“Hah?” aku terkejut kemudian “Hahahahahahaha!!” aku tertawa lepas.

“Come on Bi, aku tahu masih jauh ke April Mop. Nggak usah bercanda deh, atau kamu lagi latihan buat nyatain ke cewe inceran kamu ya?” selidikku.

“Ra… please… aku serius. Jauh sejak kamu masih SMA dulu aku udah jatuh cinta setengah mati sama kamu. Sampai kemudian aku kuliah ke luar pun yang aku jadikan motivasi itu kamu, pengen cepet beres jadi bisa segera back for good dan kumpul lagi sama kamu.” tatapan Abi menyiratkan keseriusannya. Aku hanya terdiam, bisu.

“Ra…kehadiran Zilli pun ngga merubah perasaan aku ke kamu. Justru kehadirannya bikin aku makin sayang dan respek sama kamu.”

Aku menatap tajam padanya, kuhela nafas yang mulai menyesakkan.

“Gue simpulkan kalian berdua sudah tahu mengenai fakta yang sesungguhnya. Thank you banget karena nggak satu pun dari kalian yang mencoba untuk menghakimi sikap gue di masa lalu. Gue yakin pasti banyak ‘kenapa’ yang bermunculan di kepala kalian sekarang ini. Tapi please…jangan paksa gue buat menjelaskan kenapa gue berbuat hal itu dulu. Gue si logis yang sangat ter-planning harus terjembab di lubang yang nggak pernah diduga. Kalian pasti pernah kan suatu ketika harus menyetir di jalanan yang gelap, mengendalikan kecepatan mobil dengan hati-hati, berharap nggak ada jurang di ujung jalannya. Itu yang terjadi sama gue, tapi harapan gue sia-sia, karena toh gw masuk ke jurang gelap itu. Syukurnya… Tuhan masih baik sama gue karena entah darimana muncul tali yang membantu gue untuk keluar dari jurang itu. Dan gue nggak menyesali kejadian itu, gue bersyukur karena hal itu membuat gue menjadi diri gue sekarang.”

“Ra…I’m sorry…” ucap Axel tulus.

Untuk pertama kalinya ada sejuk yang tak terdefinisikan yang menyusup ke sanubariku ketika mendengar permintaan maafnya. Aku tersenyum dan menyentuh tangannya. “Yang udah ya udah Xel. Gue merasa sangat bahagia dan beruntung dengan Zilli.”

“Ra…pernyataan Abi tulus lho, kok ga kamu respon sih?” Tanya Axel kemudian.

Aku tersenyum kecil menatap Abi, “ Bi…aku tahu kok kalau selama ini kamu naksir berat sama aku. Orang buta aja pasti akan sadar kalau dikasih perhatian yang sebegitu besarnya sama kamu. Aku emang selalu pasang sikap pura-pura nggak tahu, bukan apa-apa, itu karena aku sangat menghargai dan menyayangi kamu…. Sebagai kakak laki-laki aku.” Kusentuh pelan tangannya, “You deserve better Bi, and the woman is not me.”

Abi tersenyum penuh kelegaan yang dari tatapannya aku tahu dia patah hati mendengar penolakanku. Tapi kelegaan yang muncul di bibirnya membuatku merasa ringan, beban yang selama ini aku panggul berkurang sedikit.

“Paling nggak aku berusaha Ra, merubah status sepupu kita itu berubah jadi kekasih. Hahahaha.”

“Norak ihhh, segala kekasih gitu. Nanti aku kenalin lagi deh sama temen perempuan aku yang lain, biar cepet sembuh patah hatinya.” Aku ikut tertawa dengannya.

“Sepupu?!” Axel terkejut mendengar fakta yang baru didengarnya. Aku mengangguk seraya merangkul Abi.

“My best cousin Xel.” Abi mengacak rambutku.

“Kok bisa?”

“Ya bisa lah, nyokapnya Nara tuh adik nyokap gue. Begitu aja heran.”

“Ya jelas dong, bisa-bisanya lo jatuh cinta sama sepupu lo sendiri.” Axel membela diri.

“Axel, gini yaa…semua orang juga bisa lihat betapa cantiknya gue, jadi nggak usah heran kalau sepupu gue sendiri naksir sama gue.” kupasang wajah penuh kesombongan.

“Males!!! Narsis abiss!! Hahaha..” Abi melempar bantal padaku.

“So…. Aku bisa daftar dong Ra kalau Abi kamu tolak.” Sambar Axel.

“Daftar jadi pacarnya Abi? Boleh banget Xel, mudah-mudahan kamu diterima. Hahahaha” ledekku.

“Eh reseee! Nggak usah pura-pura bodoh gitu deh Ra, nggak pantes perempuan pintar kayak kamu pake gaya ngeles murahan begitu.” sungut Axel.

Aku dan Abi sikut-sikutan sambil melirik ke Axel, “Umur sih udah kepala 3 dibecandain begitu aja pundung, hahahahaha.” ledekku lagi.

“Elo ya Xel, dari dulu nggak berubah deh ihh, ngak bisa dibecandain. Idup tuh udah susah Xel, apalagi sekarang lo udah jadi Bapak, nggak usah serius-serius lahh, makin pusing ntar lo.” Lagi Abi menyambut ledekanku.

“Apa hubungannya nyet, justru kalau udah jadi orang tua tuh harus serius, udah nggak pantes begobegoan.” Axel berkilah.

“Alahhh lo sih dari dulu emang udah sok tua! Hahahaha..” Abi lagi-lagi meledeknya.

Hei…aku suka suasana begini, menyenangkan. Kelegaan ketika kabut akhirnya menghilang, membuka suasana baru yang lebih cerah. Perasaan entah benci, sebal, marah, unsecure setiap kali nama Axel terucap hilang entah kemana, hanya dengan ucapan maaf yang tulus. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Siddharta Buddha “Holding on to anger is like grasping a hot coal with the intent of throwing it at someone else. However you are the one who gets burned.” Kini aku bisa tersenyum dan sedikit bernafas dengan santai.

Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka, “Mommy..”

Post a Comment