Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Friday, November 19, 2010

Perempuan yang Kamu Lukai

Sebenarnya aku sudah siap untuk berangkat sendiri menuju Menteng. Tapi sepertinya tingkahku yang berisik pagi-pagi, membuat Abi terbangun dari tidurnya.
"Udah mau berangkat?" Abi tiba-tiba muncul di belakangku.
"Hei Bi..iya sebentar lagi, sarapan dulu. Mau sarapan apa kamu? Aku bikin sandwich nih, kopi?" aku menawarkan padanya. Abi duduk manis di sebelahku dan mengambil secangkir kopi yang sedang kunikmati untuk diminumnya.
"Enak.."
"Hihihi...kalau kamu mau, aku tuangkan buat kamu Bi, itu kan punyaku."
"Nggak apa-apa, biar nggak banyak cucian piring." "Pemalas."

Kami diam menikmati sandwich masing-masing.

"Aku berangkat ya." segera ku ambil backpack berisi portfolioku.
"Aku antar." ujar Abi tegas sambil sedikit berlari menuju kamar tamu untuk mengambil kunci mobilnya.

Jalanan Jakarta masih cukup lengang jika dibandingkan dengan hari kerja yang padat bukan main. Rumahku juga berada di kawasan elit Menteng, tapi jangan dibayangkan rumahku adalah satu diantara rumah-rumah mewah seperti milik pejabat. Bangunannya sederhana, dengan dikelilingi halaman yang luas. Tak sampai 10 menit aku sudah sampai di lokasi Nine. Tampak sebuah mobil terparkir di depannya.

"Hmm... sepertinya Axel sudah datang Ra." ujar Abi. Aku menoleh dengan tatapan penuh terimakasih padanya.
"Perlu aku tunggu?" sambungnya lagi.
"Nggak usah, kamu pulang aja duluan, aku bawa kunci mobil kok. Nanti aku mampir dulu ke kantor ambil mobil. Bilang Bunda maaf aku nggak bisa bantu prepare makan siang, aku nyusul ke sana siangan ya. Thankyou so much Abi." kukecup pipinya sebelum turun dari mobil. Tak lupa aku melambaikan tangan saat dia pergi.

"Hhhh...Tuhan lancarkan segala urusanku hari ini. Amin." doaku dalam hati.

Kulangkahkan kakiku menuju bangunan tua klasik yang masih tampak sangat apik itu, sejujurnya baru kali pertama ini aku merasakan perasaan tegang saat akan bertemu dengan klienku.
"Sampai juga akhirnya Ra." suara Axel mengagetkanku. Ahhh seharusnya aku fokus, kalau begini aku jadi tampak bodoh di hadapannya.
"Sorry..belum terlambat dari waktu yang ditetapkan tapinya kan?!" aku membela diri. Axel tersenyum ramah dan menyodorkan gelas styrofoam. Ada aroma vanilla yang tiba-tiba tercium.
"Aku baru sampai juga kok, tadi sempetin ke Kenanga dulu buat beli ini." dia seperti bisa tahu apa yang disuarakan oleh pikiranku.
Aku berjalan melewatinya, masuk ke sebuah ruangan besar yang nantinya akan jadi ruang kantornya, dan memandang berkeliling. Kutaruh dahulu gelas styrofoam yang dia sodorkan dan mengeluarkan portfolio yang kubawa, kuserahkan padanya.
"Sudah sempat lo lihat kan semalam?" tanyaku. Axel mengangguk.
"Tadi aku sudah berkeliling sambil membayangkan furniture-furniture itu ada di seluruh ruangan kantorku. Dan aku suka, segera kamu bereskan ya Ra." ujarnya. Aku hanya menatapnya dalam diam, yang ditatap sepertinya sadar.
"Kenapa?" tanyanya.
"Udah..begitu saja? Nggak ada hal yang mau lo sanggah? Atau ada yang lo nggak suka dari semua konsep yang gue kasih ke lo?" tanyaku kemudian.
Axel tersenyum, "Kalau aku sudah merasa cocok dengan semua konsep yang kamu kasih, buat apa lagi aku sanggah. Buang-buang waktu aja kan? Nambah-nambahin kerjaan kamu juga kan?"
Aku mengangguk-ngangguk tanda paham dengan penjelasannya.
"Semudah ini bekerja sama dengan si cecunguk angkuh ini." ujarku dalam hati.
"Tapi ada satu hal yang memang aku agak nggak nyaman Ra." ujarnya tiba-tiba, aku menoleh dan menatapnya dengan tanya.
"Sejak kapan kamu jadi ber gue elo kalau ngobrol sama aku ya?" sambungnya lagi.
Pertanyaan macam apa itu, jelas-jelas aku ada di sini dalam konteks profesionalisme pekerjaan. Ya memang harus kuakui tidak sopan bicara "gue elo" dengan seorang klien yang membayar mahal jasaku. Tapi sulit membuat diriku untuk mau berbaik hati menghadapi Axel.
"Sorry... sikapku memang nggak sopan, tapi aku lebih nyaman dengan bahasa itu. Keberatan kalau gue tetep ya ber-gue elo aja sama lo?" tanyaku.
Axel tersenyum dingin, "Keberatan, karena kamu bisa kok berbicara manis sama Abi, kenapa nggak sama aku?"
Ahhhh!! Aku nggak suka sama sikap Axel, laki-laki angkuh, sok punya kuasa, sok ganteng, ya oke dia memang tampak ganteng hari ini dengan kemeja kuning yang lengannya sudah dia gulung sampai siku dan jeans birunya.
"Baik Pak Axel, jadi anda sudah setuju dengan konsep yang saya tawarkan ya? Saya akan langsung telepon ke factory siang ini juga, supaya Senin atau Selasa, semua furniture sudah masuk. Jadi anda dan seluruh karyawan anda bisa segera menempati kantor ini. Ada lagi?" bahasa formal segera aku pakai. Sebelum aku dapat cap perempuan nggak punya etika, aku segera membuat suasana menjadi seprofesional mungkin. Kuteguk teh vanilla yang tadi ditawarkan oleh Axel.
Dia tersenyum, lagi. Oh Tuhan entah sudah berapa kalinya pagi ini dia hanya membalas semua ucapanku dengan senyum. Aku nggak suka sama senyum kamu, membuatku khawatir dan berpikir kamu memiliki rencana tersembunyi dalam senyummu.
"Ok...tapi nggak usah terburu-buru Ra, aku masih ingin bisa bekerja sama-sama kamu." ada seringai nakal di senyumnya. Aku hanya diam tak menggubris ucapannya. Kutinggalkan dia untuk berkeliling sendiri di rumah itu. Ingatanku kembali ke masa 6 tahun lalu,

"Lho Ra... lo nggak tahu? Axel berangkat ke New York kemarin sore." Andrew roommate Axel memberikan pernyataan yang mengejutkanku.
"New York?" aku membeo.
"Iya...dia dapat scholarship di sana, gue lupa apa nama universitasnya. Emang dia nggak cerita sama lo Ra? Udah sejak 3 bulan lalu dia prepare keberangkatannya ke sana, masa sih dia ngga cerita."
"Oh, dia cerita kok Ndrew... Tapi gue lupa kalau kemarin dia berangkat, gue ke luar kota sebulan belakangan ini jadi komunikasi sama Axel nggak begitu lancar. Ya udah nanti gue langsung kontek dia aja kalau begitu. Thanks Ndrew." aku segera undur diri dan memasang topeng wajah baik-baik saja.

Dia yang sudah dua tahun ini dekat denganku, dia yang selama 721 hari nggak pernah absen kirim sms ke ponselku, dia yang tidak pernah lupa untuk bilang selamat pagi dan selamat malam, dia yang selalu mengingatkanku untuk senyum jangan cemberut, dia yang bilang akan selalu jujur padaku, dia yang pernah bilang "aku akan ada selalu untuk kamu", sekarang pergi tiba-tiba tanpa ucapan selamat tinggal. Bahkan berbagi kebahagiaan mengenai impiannya pun tidak? Jauh dalam hatiku aku terluka, tapi aku tidak membiarkan diriku terjatuh lebih dalam lagi. Dia pikir bisa bikin aku sedih dengan sangat lama? Dia pikir sudah berhasil menguasai semua ruang pikiranku? Dia pikir aku akan goyah dengan kepergiannya? Lihat saja, jika kita harus bertemu lagi suatu saat nanti, kamu akan tahu kalau kamu sudah salah memilih perempuan untuk kamu lukai.

"Ra..." suara Axel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh.
"Kamu masih ingat kita pernah ketemu di New York 4 tahun lalu?"
Aku terkejut dan tidak bisa kututupi keterkejutanku itu, dia masih ingat. Aku hanya mengangguk.
"Aku kaget melihat kamu di Central Park siang itu, aku pikir aku berhalusinasi karena pas banget aku lagi kangen sama kamu hari itu." Axel berkata dengan mata yang menerawang dan lagi-lagi senyumnya tersungging manis di bibirnya. "Begitu aku mendekat ternyata memang benar kamu, tawa yang sama yang sayangnya hanya kamu bagi dengan teman-teman kamu. Kamu langsung pergi begitu aku menyapamu, hanya meninggalkan senyuman dingin yang selalu menghantui malam-malam panjangku. Bagaimana bisa kamu ada di sana Ra? Dan meninggalkanku begitu saja?" sambung Axel lagi. Aku menoleh menatapmu, apakah kamu memang benar ingin tahu atau sekedar ingin memuaskan egomu Xel?
"Aku dapat scholarship di New York School of Interior, aku nggak tahu kamu ada di New York juga Xel. Secara kita terakhir ketemu itu hmm... berapa tahun lalu tuh ya Xel? Nggak ada kabar-kabar kamu akan ke New York juga kan?" jawabku. Kalau kamu menunggu kalimat "Aku ke sana karena aku cari kamu Xel" jangan harap.
Axel memandangku, "Tapi kenapa kamu langsung pergi Ra waktu aku nyapa kamu?"
"Ada peraturan ya kalau aku nggak boleh ninggalin kamu? Dan kamu bebas-bebas aja meninggalkan orang tanpa basa basi?!" nada dingin dalam ucapanku mengagetkan Axel. Aku bisa lihat dia terkejut, tidak menyangka akan mendapatkan jawaban yang cukup menusuk. Sementara dia masih terpaku dengan keterkejutannya, aku membenahi barang-barangku, sudah saatnya aku pulang.
"Saya kasih kabar secepatnya begitu kantor anda beres Pak Axel, kalau ada hal yang mungkin masih ingin anda sampaikan seputar design kantor anda jangan sungkan untuk menghubungi saya. Saya pamit dulu karena sudah ada janji, mari Pak." tanpa menunggu tanggapannya aku mengeloyor pergi.

Ini saatnya aku menepati janjiku Xel, kamu harus tahu kalau kamu sudah salah memilih perempuan untuk kamu lukai.

Post a Comment