Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Thursday, April 14, 2011

His Curiosity

Masih lekat sekali dalam ingatanku, tatapan kaget Axel saat dikenalkan dengan Zilli tadi. Sikapnya yang tampak wajar, dibuat tampak wajar tepatnya, tetap terlihat canggung di mataku. Entah kenapa lagi-lagi aku merasakan tekanan yang sama berada di dekatnya, meskipun ada Zilli dan Abi di sana juga Bunda dan Ibu ketika makan bersama tadi. Zilli menemaniku membereskan pakaiannya dengan celoteh kecilnya. Anak ini lucu, pintar, dan semakin hari semakin mirip Papanya.
"Hhhh..." tanpa sadar aku mengehela nafas.
"Mam... capek ya?" tangan mungil Zilli menyentuh tanganku. Aku tersenyum kecil seraya mengelus sayang kepalanya.
"Mama capek tapi seneng akhirnya ketemu kamu setelah seminggu nggak sama-sama." jawabku. Zilli memelukku erat.
"Tapi berarti Zilli nggak bisa main sama Eyang lagi ya mulai sekarang?" tanyanya kemudian.
Aku mengangguk cepat, "Eyang harus pulang ke Solo, kasihan Tante Keisha sendirian di sana. Nanti ya...kalau Zilli libur lagi, kita berdua yang ke sana, ketemu Eyang sama Tante Kei."
Ada binar penuh harap di mata Zilli, "Mama janji." sambungku lagi meyakinkannya.

"Ra..." suara Ibu membuat Zilli berlari menuju pintu dan membukakannya. Ibu tersenyum padanya, "Zilli main sama Om Abi dulu ya, Eyang mau ngobrol sama Mama." Zilli mengangguk kemudian pergi keluar kamar.
Dari cara pandang Ibu, aku sudah bisa menebak apa yang ingin dibicarakannya.
"Kata Abi, Axel itu juga teman kamu, teman lama kamu Ra? Kok Ibu nggak pernah tahu yah?" pertanyaan Ibu penuh selidik.
"Mmm... iya dulu Bu, udah lama banget." jawabku pelan.
"Maaf nih ya Ndok... Bukan maksud Ibu mau ikut campur atau mau tahu urusan kamu. Cuma Ibu dari tadi pertama dikenalin sama Nak Axel, nggak ngerti kenapa Ibu agak terganggu sama senyum juga matanya dia."
"Hahahaha.." aku tertawa mendengar ucapan Ibu, " Yo wis Bu... bilang aja kalau begitu sama Axel, jangan ketawa dan jangan buka matanya." godaku.
"Hush... ora ngono... Maksudku ngene Ndok... Axel karo Zilli iku mirip, aku sadar waktu Zilli ngajak dolanan mobil-mobilane kui. Ngguyu-ngguyune, mripate, persis banget."
Seketika itu juga aku membeku, "Apa-apaan ini... kenapa Ibu tiba-tiba membahas topik yang sudah lama sekali tidak muncul ini." ujarku dalam hati.
"Bu...kita udah sepakat nggak akan bahas ini, aku udah bilang siapa dia, dimana dia, aku akan simpan sendiri. Tolong Bu..jangan berasumsi yang nggak seharusnya, nggak enak kalau sampai ada orang lain yang dengar." jelasku kemudian.
Ibu hanya menggenggam tanganku, mengelusnya, dan menatap mataku. Aku pun tersenyum dan coba mengalihkan topik pembicaraan.
"Jadi Ibu yakin nih, mau ke bandara diantar Bunda Maya aja? Nggak mau mampir Menteng dulu?" tanyaku memastikan.
"Iya, kamu pulang sama Zilli aja. Nanti Maya yang antar Ibu ke bandara. Kasihan kalau kamu pakai antar Ibu dulu ke bandara, capek nanti, fokus sama Zilli dan kerjaan kamu aja ya Ndok. Jaga kesehatan..."
Aku mengangguk mantap.

Selesai mengobrol dengan Ibu, bukan berarti aku segera bisa pulang ke rumah. Zilli masih asik bermain dengan Abi dan Axel. Aku hanya mengamati dari teras kamar. Dua jam kemudian, kurasa saatnya aku membawa Zilli pulang. Aku terlalu lelah, butuh istirahat segera.
"Zillian, kita pulang sekarang." ada nada tegas dalam suaraku. Meskipun kulihat Zilli masih ingin menghabiskan waktu dengan pria-pria dewasa itu, tak kubiarkan diriku mengalah untuk kesenangannya. Sejak kecil dia memang tidak aku biasakan bermanja-manja.

Dengan langkah kecilnya Zilli mendekat, "Pulang sekarang Mam?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk mantap.
"Wah...gue mesti balik juga nih sepertinya Bi." ujar Axel, Axel dan Abi ternyata sudah berdiri di sampingku, "Sama-sama aja ya Ra, tadi kan berangkat juga kita sama-sama." sambung Axel kemudian.
Aku menggeleng keras, "Gue pesen taksi kok."
"Belum pesen kan Ra? Nggak usah Xel, biar gue yang antar Nara sama Zilli balik. Ada barang gue yang ketinggalan juga di Menteng." sahut Abi.
Ekspresi Axel tak terbaca begitu mendengar niatan Abi.
"Asik... diantar Om Abi! Nginep aja ya Om nanti.." Zilli mulai merengek.
"Hahahaha.." Abi tertawa seraya mengacak-acak rambut Zilli, "Sebentar ya, Om ambil kunci mobil dulu. Eh, kamu udah pamit sama Eyang sama Nenek belum? Pamit dulu yuk." Abi menggandeng tangan Zilli.

Aku ditinggalkan begitu saja dengan Axel. Lagi-lagi mati gaya, lagi-lagi nggak tahu harus bicara apa.
"Ra, terakhir kamu ketemu Jason kapan?" tanya Axel tiba-tiba.
Aku tidak siap dengan pertanyaan Axel, hanya bisa membeo "Jason?"
"Yes, my cousin."
"Dua bulan lalu waktu dia ke Jakarta juga gue ketemu kok. Masih di Makau kan dia sekarang?"aku bertanya balik.
"Kebetulan ketemu atau memang udah arrange buat ketemuan?" entah kenapa ada nada penuh selidik dalam pertanyaan Axel ini.
Dengan sedikit menaikkan alis, aku menjawab "Sengaja ketemu, gue sering kok kontekan sama dia. Minggu lalu juga sempet video chat sama Jason, dia mau nikah lo tau?"
Ada kerutan di dahi Axel mendengar jawabanku, "Enteng bener kamu bilang dia mau nikahnya, nggak sedih Ra? Nggak merasa terbuang ya kamu?"
Oke, kali ini omongan Axel mulai tidak bisa aku tebak apa maksudnya. "Sedih? Terbuang? Maksudnya apa ya Xel? Kok kesannya kayak gue punya hati dan ngarep banget sama sepupu lo itu."
"Zilli... Dari pertama dikenalin tadi, muka Zilli itu seperti familiar banget." ucapnya pendek.
Kali ini aku merasa sudah tidak ada gunanya membahas apapun dengan Axel.
"Zil! Bi! Lama banget ya cuma pamit aja!" teriakku ke dalam rumah.
"Sebentar!" suara Abi kini yang menimpali.
Aku masih menatap tajam Axel sambil menunggu Zilli dan Abi. Axel pun sepertinya masih menunggu dengan tatapan bertanya. Tak menunggu lama, Zilli dan Abi muncul tak ketinggalan Ibu dan Bunda. Aku pamit pada Ibu dan Bunda Maya, begitu pun Axel. Zilli sudah masuk terlebih dulu ke dalam mobil, Abi membantuku memasukkan travel bag, dan aku berdiri bersisian dengan Axel.
"Jason bukan bokapnya Zilli, kalau lo mau tahu." ucapku cepat dengan suara serendah mungkin. Segera kubuka pintu mobil dan duduk manis, tanpa menoleh lagi pada sosok pria yang masih menatap bingung padaku.

Abi segera melajukan mobilnya menuju Menteng, meninggalkan mobil Axel yang membuntuti di belakang mobilnya. Pikiranku masih berkelana, bisakah rahasia ini tetap aku simpan? Aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia bersama Zilli. Kenapa juga aku memberitahu mengenai Jason tadi, toh hal itu nggak akan merubah apapun. Yahh paling tidak aku membersihkan satu nama dari tuduhan salah alamat. Kutengok ke belakang, Zilli sudah tertidur pulas tampak damai dan tenang, sepertinya aku akan ikut menyusulnya saja ke alam mimpi. Lagi-lagi mempercayakan Abi membawaku pulang, kali ini dengan malaikat kecilku.

Post a Comment