Serial Secangkir COkelat dan kopi

Serial Secangkir Cokelat dan Kopi di sini

Wednesday, April 13, 2011

Lightning Strike in the Middle of the Day

Percakapanku dengan Abi benar-benar memberikan pukulan mental yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Dulu aku berpikir bahwa cobaan psikologis terberat untukku adalah saat aku memutuskan untuk mengambil beasiswa tersebut tanpa memberitahu Nara. Namun apa yang kualami hari ini tampaknya cukup untuk membuat seorang prajurit kehilangan semangat tempurnya.

Nara sekarang adalah seorang orangtua tunggal dengan anak lelaki lucu yang berumur 6 tahun dan Abi sahabat kuliahku itu amat menaruh hati kepadanya. Apa yang bisa aku perbuat sekarang? Meskipun aku masih menginginkan Nara, dapatkah aku menembus kegetiran Nara? Bilapun itu terjadi, sanggupkah aku melangkahi Abi yang selama ini telah menjaga Nara dengan baik? Bahkan mungkin lebih baik dari yang pernah aku lakukan bertahun-tahun yang lalu?

Mungkin keputusanku 6 tahun lalu adalah kesalahan terbesarku. Aku lebih mementingkan egoku daripada membeberkan semua kekhawatiranku kepada Nara. Saat itu aku benar-benar merasa aku tidak pantas untuk meminta Nara untuk menungguku selama setidaknya 4 tahun aku di New York. Long distance relationship hanya akan membebani aku dan dia dalam menjalani hidup. Lagipula, siapalah aku ini 4 tahun yang lalu? Seorang mahasiswa nerdy yang menumpang hidup kepada orangtuanya. Secara prinsip, aku merasa bahwa jika aku belum dapat berdiri dengan kakiku sendiri, aku tidak pantas meminta tangan seorang wanita, terlebih lagi wanita itu Nara. Bahkan saat aku pergi pun aku sebenarnya meminta sepupuku Jason untuk mengawasi Nara...

Tiba-tiba aku terhenyak dan merasa bagaikan tersambar petir! Apakah mungkin? Is it possible that Jason... Jason... sepupuku satu itu memang aku tahu bahwa dia pemangsa wanita, tapi mungkinkah dia me... tidak, tidak mungkin... tapi mata Zilli mengingatkanku pada Jason...

Aku coba untuk mengenyahkan pikiran buruk itu tapi sekelumit fakta yang kumiliki tetap menggiringku untuk menyimpulkan satu hal mengerikan...
Jason, sepupuku yang seharusnya mengawasi Nara malah mengambil kesempatan saat Nara goyah dan entah bagaimana mengambil kesempatan sempit itu.
Aku bukan pria naif yang akan menyangkal bahwa Nara secara fisik dari dahulu memang sangat menarik. Aku tidak buta. Aku tahu Nara punya banyak pengagum dari jaman dia SMA, kuliah, bahkan sampai waktu aku dan dia bersamapun masih banyak lelaki yang mencoba mendapatkannya.

Selama 10 atau 15 menit pertama pada saat makan siang itu, benakku dipenuhi berbagai macam pikiran. Aku hanya tersenyum dan mengangguk secara otomatis.
"Om Axel, ko malah ngelamun sih Om?" tanya Zilli.
"Ga ko, Om lagi mikirin urusan kerjaan aja." kilahku kepadanya.
"Tante ini enak sekali ya masakannya." sahutku seadanya seraya berpikir di dalam hati, "Zilli, kamu mungkin keponakan jauhku. Meskipun keberadaanmu mempersulit keadaan, aku akan mencari tau soal ayahmu. Jika benar Jason adalah ayahmu, aku akan buat perhitungan dengannya." Dan aku kemudian aku hentikan otakku dan mulai menikmati apa yang kumiliki hari ini: hidangan Indonesia yang sedap, teman-temanku dan keluarganya. Senyumku pun mulai mengembang karena tingkah laku Zilli di meja makan.

Post a Comment